x

Gambar oleh wal_172619 dari Pixabay

Iklan

purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 9 Juli 2023 11:30 WIB

Kenapa Obsesif dengan Kecepatan

Di samping berjalan kaki santai, bersepeda dengan tidak tergesa-gesa, demi mencapai suatu lokasi dari lokasi lain, adalah garansi untuk mendapatkan apa yang digambarkan Hellen Keller.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Purwanto Setiadi

 

Sudah lama berlaku peringatan tentang potensi bahaya sebuah produk terhadap kesehatan konsumennya: rokok membunuhmu. Peringatan yang sama sebetulnya berlaku pula untuk hal lain, sesuatu yang tak berupa “produk” fisik: kecepatan membunuhmu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Membunuhmu memang kelewat ekstrem, kecuali menyangkut kendaraan bermotor di jalan. Tapi setiap kali melihat atau mendengar orang berbicara tentang kecepatan, terkait kegiatan apa pun, saya selalu teringat pada kalimat pembuka satu artikel yang saya baca entah kapan dan di mana tapi sulit melupakannya: “Dunia bisnis terobsesi dengan kecepatan.” Ya, kecepatan; hal ihwal ini yang dibahas di dalamnya, tentang kenapa obsesi terhadap kecepatan marak dan apa akibat dari diabaikannya kompleksitas yang justru menuntut derap yang santai karena santai ini penting untuk mewujudkan kualitas.

Ada contohnya untuk hal itu. Dalam kasus Boeing, seperti tergambar dalam film dokumenter Downfall: The Case Against Boeing, fokus berlebihan pada kecepatan (di samping laba yang bertambah besar) malah jadi mengorbankan keselamatan. Ini membuktikan betapa semakin cepat sesuatu bergerak, kian terbatas pula area penglihatan. Cobalah memacu sekencang-kencangnya kendaraan bermotor Anda kalau tak percaya.

Obsesi serupa itu berlaku tak hanya di dunia bisnis, sebetulnya. Dalam kegiatan bersepeda sebagai fun atau cara bersenang-senang pun kecepatan (juga power, kekuatan, sebenarnya) sudah bagaikan badge of honor, simbol kehormatan.

Di berbagai komunitas, misalnya, salah satu topik percakapan yang umum adalah tentang cara-cara yang diperlukan agar sepeda bisa dipacu secepat kilat, kalau mungkin. Pertanyaan-pertanyaan seperti groupset--maksudnya, terutama, kombinasi gigi depan-belakang--jenis mana, atau ban dengan rolling resistance atau friksi antara ban dan permukaan jalan seperti apa, yang bisa menunjang tujuan itu berseliweran tanpa henti. Juga ekspresi/pujian untuk mereka yang sanggup menempuh jarak tertentu dalam tempo sesingkat-singkatnya seperti “Setrong!” Maksudnya: strong.

Kalau yang sifatnya fun itu mau didapat dengan sepeda balap, mungkin wajar. Jangankan mengingat sebutannya, dari geometri rangkanya saja sepeda jenis ini memang dirancang untuk, meminjam julukan bagi Lucky Luke, karakter koboi dalam komik rekaan Morris alias Maurice De Bevere, melaju “lebih cepat dari bayangannya sendiri”. Lagi-lagi, kalau bisa, tentu saja. Paling tidak, tersebab oleh posisi menungganginya yang membuat badan condong ke depan, pengendara jadi cenderung terbawa untuk mengayuh selekas-lekasnya.

Justru profil semacam itu, entah bagaimana, yang jadi ideal. Atau, bahkan dikukuhkan melalui pembuatan simbol, juga emoji, yang mewakili pengguna sepeda (karena tak ditemukan ada alternatifnya), yaitu gambar pesepeda balap. Seakan-akan tidak ada tujuan lain dari penggunaan sepeda kecuali untuk berkompetisi dengan limitasi waktu. Seakan-akan hanya itulah yang...keren.

Saya tahu, preferensi orang seorang memang beragam. Tapi harus demikiankah yang lebih menonjol? Apa yang diperlukan untuk menanamkan pemahaman bahwa sama eloknya, lo, kalau orang mau memandang dan meyakini sepeda sebagai sarana transportasi dan mobilitas? Bersepeda dengan langgam musik keroncong? Iya. Dan bukankah melegakan bila sesekali orang bisa, secara moral, merasa terlepas dari rasa bersalah karena membebaskan diri dari posisi sebagai penyebab polusi dan atau emisi, yang menimbulkan krisis iklim, yang berakibat menyengsarakan orang lain karena bencana alam jadi semakin intens daya rusaknya?

Di samping berjalan kaki santai, bersepeda dengan tidak tergesa-gesa, demi mencapai suatu lokasi dari lokasi lain, adalah garansi untuk mendapatkan apa yang digambarkan Hellen Keller, pengarang dan aktivis perempuan dari Amerika Serikat, ini: “[Bersepeda] Ini adalah cara sempurna untuk merasakan terpaan angin di wajahku dan gerak memantul dari kuda besiku. Lajunya menembus udara memberiku perasaan kuat dan melayang, dan olahraganya menarikan denyutku dan membuat jantungku bernyanyi.”

Salut untuk mereka yang telah melakukannya dengan konsisten, bersepeda untuk kebutuhan utilitarian, di samping tetap bersepeda untuk sport dan lain-lain.

 

(*)

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB