x

Ilustrasi anak muda. Sumber foto: Freepik.

Iklan

purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 31 Agustus 2023 14:19 WIB

Anak Muda dan Bisnis untuk Solusi Alam

Terjun berbisnis, banyak anak muda mengadopsi prinsip ekonomi restoratif. Mereka percaya tujuan mewujudkan kesejahteraan bisa seiring dengan tujuan menjaga lingkungan hidup.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Purwanto Setiadi

 

Suatu pekerjaan yang belum lama ini harus saya rampungkan mempertemukan saya dengan anak-anak muda yang mau tak mau membuat saya melihat cahaya di ujung terowongan. Mereka memperlihatkan antusiasme seperti api unggun yang baru menyala terhadap kegiatan ekonomi yang menyejahterakan sekaligus menjaga lingkungan hidup. Mengobrol dengan mereka membantu mengorting kerisauan tentang masa depan negeri ini dalam kaitannya dengan tiga krisis yang dihadapi bumi saat ini--krisis iklim, polusi, dan merosotnya keragaman hayati.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Frase “menyejahterakan sekaligus menjaga lingkungan” itu tidak dalam pengertian yang saat ini umum dipahami. Yang dipahami dan terus-menerus diasongkan, terutama oleh pemerintah, adalah yang bersifat “fleksibel”, kompromistis, demi mempertahankan status quo; ini dilakukan, antara lain, dengan mengulur-ulur “standar” atau “definisi” dari parameter yang jadi ukuran. Itu hal yang berbeda sama sekali, meski bukan gagasan baru.

 

Alih-alih mengkompromikan tujuan melindungi lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi, atau profit dalam bisnis, anak-anak muda itu, kaum milenial, percaya keduanya bisa dicapai bersama-sama. Tumbuh atau laba, secara sadar atau tidak, umumnya dipahami dalam pengertian thriving, berkembang dan maju.

 

Salah seorang dari mereka, Noverian Aditya, co-founder Java Kirana, telah sejak awal menetapkan tujuan bisnisnya, di bagian hulu perdagangan kopi, sebagai cara “membantu petani mendapatkan harga yang adil” dan “mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola” dalam setiap keputusan. Noverian, bersama dua temannya, menjadikan perusahaannya sebagai perantara yang melengkapi petani kopi dengan bantuan teknis serta program yang transparan yang didasari rasa saling percaya. Mereka berbeda dengan tengkulak.

 

Munculnya banyak anak muda yang berbisnis dengan prinsip ekonomi restoratif itu menjadi peluang bagi bisnis lain, atau kegiatan nonprofit, yang tujuannya membantu merealisasikan ide bisnis hijau. Aspek-aspeknya bisa yang menyangkut finansial atau pendanaan, bisa juga semata-mata pemberdayaan sehingga anak-anak muda bisa melihat peluang.

 

Gagasan bahwa balans antara berkembang dan menjaga daya dukung lingkungan dalam bisnis sesungguhnya bisa dicapai telah dikemukakan dengan lantang dan penuh optimisme oleh Paul Hawken. Wirausahawan sekaligus aktivis lingkungan ini memaparkannya dalam buku berjudul The Ecology of Commerce. Pada 1993 itu, ketika bukunya diterbitkan, istilah keberlanjutan (sustainability) baru diadopsi dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brasil, 1992. Tapi Hawken malah sudah menyatakan bahwa keberlanjutan itu sebetulnya tidak ada; dia menyebutnya sebagai “rahasia environmentalisme yang tidak diungkapkan”.

 

Hawken yakin bahwa manusia telah melampaui titik di mana sumber daya planet bisa diandalkan untuk mendukung populasi hingga 50 tahun ke depan. Baginya, perubahan yang mungkin dilakukan haruslah “memutar balik jam sumber daya dan mengerahkannya untuk memulihkan kerusakan dan memburuknya kehidupan serta sistem sosial”. Katanya, “Merestorasi lebih masuk akal ketimbang aljabar keberlanjutan.”

 

Ekonomi yang merestorasi. Ekonomi restoratif. Istilah ini bertahan. Beberapa perkembangan praktis maupun konseptual sejak ekspose Hawken itu memberinya daya hidup. Prinsip-prinsip ekonomi sirkuler, yang muncul sejak 1980-an dan berkembang menjadi satu model populer yang mengunggulkan praktik menjadikan limbah dari kegiatan ekstraksi, produksi, dan konsumsi sebagai input--yang memperedarkan sumber daya (organik maupun nonorganik) dalam suatu perekonomian tanpa menghasilkan limbah--mewujudkan gagasan tersebut sebagai aksi.

 

Pengadopsian konsep ekonomi sirkuler perlahan-lahan terjadi. Pada awal 2000 pemerintah Cina mengintegrasikannya ke dalam kebijakan industri dan lingkungannya. Ellen MacArthur Foundation, sebuah lembaga nonprofit yang bermarkas di Cowes, Isle of Wight, Inggris, pun aktif memainkan peran dalam upaya mempercepat peralihan dari ekonomi konvensional--ekonomi liner, yang bersifat “ambil-bikin-buang”--ke ekonomi sirkuler di Eropa dan Amerika.

 

Tetapi pemikiran mengenai ekonomi alternatif yang memang menyejahterakan sekaligus melindungi lingkungan terus berkembang. Pada 2017, Kate Raworth menawarkan gagasan tentang ekonomi donat (doughnut economics) lewat Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like 21st-Century Economist. Ekonom dari Environmental Change Institute di Oxford University ini menempatkannya sebagai pelengkap ekonomi sirkuler.

 

Raworth menggabungkan kerangka tentang batas ekologis planet (planetary boundaries) yang dikembangkan Johan Rockström dan kawan-kawan pada 2009 dengan tujuan pembangunan global sebagaimana tercantum dalam Sustainable Development Goals. Dia menjadikan keduanya limitasi bagi suatu ruang yang memungkinkan manusia berkembang dan maju tanpa kekurangan kebutuhan dan hak-hak dasarnya dan pada saat yang sama, dalam mencapai keadaan itu, tidak melampaui batas ekologis.

 

Batas sosial dan batas ekologis itu dia imajinasikan sebagai dua lingkaran sejajar yang mengelilingi sumbu yang sama. Ruang di antara keduanyalah yang dia sebut sweet spot atau area terbaik bagi manusia untuk berkembang dan maju secara adil dan aman. Dia melihat coretan pensil dari imajinasinya itu mirip donat. Konsepnya dia sebut ekonomi donat.

 

Pada hakikatnya, ada dua hal yang menjadi inti ekonomi donat: ia bersifat regeneratif serta distributif, dan melihat kesejahteraan sebagai keseimbangan antara kesehatan sosial-ekonomi serta ekologi.

 

Tak mau hanya berteori, atau menjual gagasan radikal yang kelewat “melambung”, Raworth mendirikan Doughnut Economics Action Lab. Melalui lembaga ini, dia berkolaborasi dan membantu para pembuat perubahan di berbagai tempat di seluruh dunia untuk mengadopsi ekonomi donat dan mewujudkan aksi yang transformatif.

 

Di antara anak muda yang sempat saya jumpai ada yang mengambil inspirasi dari gagasan Raworth dan menggabungkannya dengan pendapat John Fullerton (2015) tentang prinsip-prinsip ekonomi regeneratif dan Per Espen Stoknes (2021) perihal pengukuran ekonomi yang memasukkan batas ekologis planet sebagai faktor. Mereka berencana menginisiasi pembangunan suatu kawasan khusus, semacam kawasan industri, untuk kegiatan ekonomi atau bisnis yang restoratif. Berlokasi di satu desa dalam area penyangga kawasan hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah, kawasan itu direncanakan menjadi sentra pengolahan beberapa komoditas yang merupakan hasil alam setempat.

 

Teori-teori yang mereka gunakan sebagai dasar pemikiran memungkinkan dibuatnya penghitungan kelayakan bisnis yang telah mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan lingkungan. Dua parameternya dalam hal ini: CAPRO (carbon productivity), yakni nisbah dari nilai tambah terhadap emisi CO2; dan SOPRO (social productivity), perbandingan antara nilai tambah dan rasio Palma. Kedua parameter ini harus lebih besar dari 5 persen.

 

“CAPRO-nya, kalau mau makin gede nilai ekonominya, emisi karbonnya harus kecil, bahkan minus, bahkan menyerap (karbon). Kalau skor sosialnya mau bagus, Palma ratio-nya harus bagus, 1 banding 1,” kata Muhammad Syirazi, Chief Executive Swadaya.id, sebuah platform gotong royong pendanaan bagi bisnis yang memperhitungkan dampak sosial dan lingkungan.

 

Rasio Palma merupakan alternatif dari rasio Gini untuk mengukur ketimpangan pendapatan. Angka rasio Palma didapat dari nisbah antara bagian pendapatan yang bisa dibelanjakan yang diterima 10 persen kelompok berpenghasilan tertinggi dan bagian dari total pendapatan yang bisa dibelanjakan yang diterima 40 persen kelompok berpenghasilan terendah.

 

Realisasi dari rencana tersebut masih dalam tahap dini. Tapi, bagaimanapun, ia bisa menambah dorongan untuk inisiatif-inisiatif yang sudah berjalan maupun yang akan dijalankan. Dorongan itu diperlukan untuk menggebah problem kelembaman dalam politik pembuatan kebijakan. Karena kelembaman ini, perubahan harus dilakukan dengan cara lain.

 

Meminjam perumpamaan tentang kapal yang tengah berlayar, adanya gelombang yang mengayun sangat kuat di bawahlah yang bisa mengubah arah perjalanan. Gelombang ini memerlukan gerakan perubahan yang masif. Dalam sejarah, gerakan yang efektif mewujudkan hal baru adalah yang datang dari bawah.

 

Anak-anak muda seperti Noverian, Syirazi, dan lain-lain saat ini sedang mengawali gerakan itu, dari bawah.

 

(*)

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu