x

Elite Politik

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 2 November 2023 11:48 WIB

Berikan Contoh Buruk, Elite Gagal Merawat Demokrasi

Proses-proses kenegaraan dalam lima tahun terakhir memperlihatkan betapa tanpa rasa canggung elite politik mempertontonkan kuasa mereka di atas demokrasi. Bagi mereka, demokrasi hanyalah kuda tunggangan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Alih-alih mengembangkan demokrasi yang sehat, perilaku elite politik justru memperlihatkan kegagalan mereka menunaikan kewajiban strategis ini. Bahkan, untuk sekedar merawat demokrasi pun mereka dapat dikatakan tidak berhasil. Perjalanan proses-proses kenegaraan dalam lima tahun terakhir memperlihatkan betapa tanpa rasa canggung elite politik justru mempertontonkan kuasa mereka di atas demokrasi. Bagi mereka, demokrasi hanyalah kuda tunggangan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan-penting tidak lagi memperoleh tempat. Penyusunan undang-undang baru maupun revisinya mengabaikan suara rakyat yang keberatan. Para politisi yang duduk di parlemen lebih bertindak sebagai penyambung suara elite ketimbang menyuarakan aspirasi rakyat banyak. Proses pengambilan keputusan dibuat ‘seolah-olah demokratis’, sehingga demokrasinya boleh disebut ‘seolah-olah demokrasi’ atau demokrasi semu.

Kekuatan legislatif telah bersekongkol dengan eksekutif dalam rangka menciptakan ‘seolah-olah demokrasi’ itu. Situasi ini dapat terjadi karena orang-orang yang duduk di parlemen maupun di pemerintahan berasal dari partai-partai yang sama, dan mereka menguasai mayoritas kursi di DPR sehingga keputusan penting dengan mudah diambil karena minoritas kursi tidak mampu mengimbangi dari segi jumlah suara. Dalam situasi seperti ini, bagaimana mungkin fungsi check-and-balances Dewan Perwakilan Rakyat dapat berlangsung secara sehat?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masalahnya, persekutuan mereka terjadi bukan sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat banyak, melainkan untuk menjaga agar kepentingan masing-masing elite politik maupun elite ekonomi tidak terganggu. Di sinilah, para anggota DPR menjalankan fungsi check and balances dalam arti menjaga kepentingan partainya maupun elite politik patronnya agar tidak terganggu serta terakomodasi dengan aman dalam aturan yang mereka buat. Keseimbangan kekuatan politik dan ekonomi diupayakan bertahan atau status quo apabila pihak tertentu tidak mampu memenuhi keinginannya untuk menjadi dominan.

Dari sanalah, rakyat melihat bahwa anggota parlemen pada umumnya bertindak layaknya ‘pertugas partai’. Istilah ‘petugas partai’ memang sering dilontarkan oleh Megawati kepada anggota DPR yang berasal dari PDI-P untuk mengingatkan agar mereka mematuhi keputusan partai mengenai isu-isu yang mereka perjuangkan. Namun, dalam praktik, anggota DPR lainnya pada dasarnya juga ‘petugas partai’ masing-masing. Secara praktis, rakyat banyak juga menyebut mereka ‘petugas partai’ tak lain karena loyalitas anggota Dewan kepada partai politik lebih besar dibandingkan loyalitas kepada rakyat banyak sebagaimana tampak pada banyak isu-isu penting yang dibahas dalam legislasi DPR.

Posisi tersebut membuat para anggota Dewan tidak berani menyuarakan pendapat yang pro-rakyat banyak, sebab berisiko ditarik oleh partai. Meskipun barangkali tidak menyukai atribut ‘petugas partai’, mereka tidak mampu menolak kenyataan bahwa mereka lebih banyak menyuarakan dan mempertahankan kepentingan partai, yang notabene umumnya didominasi oleh pengaruh ketua umumnya.

Institusi peradilan pun begitu, dan akhir-akhir ini sangat terlihat pada Mahkamah Konstitusi. Institusi peradilan yang semestinya bertindak sebagai lembaga yang betul-betul independen dari pengaruh kekuasaan legislatif maupun eksekutif, dalam kenyaaan itu baru harapan rakyat banyak. Puncak terbaru kekecewaan rakyat banyak kepada Mahkamah Konstitusi terjadi ketika MK merevisi syarat pencalonan presiden dan wakil presiden dengan pertimbangan yang dikritik oleh para ahli hukum sebagai cacat.

Menariknya, kritik kepada MK dalam kasus tersebut bukan hanya datang dari akademisi, ahli hukum, aktivis sosial, maupun masyarakat umum sebagaimana selama ini sering terjadi. Kali ini kritik terhadap keputusan MK tersebut juga datang dari partai politik, dan tampaknya ini karena kepentingan partai mulai terganggu. Bila kepentingan partai tidak terganggu, elite partai akan diam-diam saja terhadap keputusan MK sekalipun masyarakat banyak memprotesnya. Tapi itulah buah dari institusi MK yang kini dianggap telah terkooptasi oleh lembaga eksekutif melalui jalur kekeluargaan.

Proses politik yang berlangsung menjelang pemilihan presiden tahun depan memang memperlihatkan secara telanjang betapa elite politik betul-betul bersikap tegak lurus terhadap kepentingan masing-masing. Demi mewujudkan ambisi dan memperjuangkan kepentingan sendiri, cara apapun ditempuh. Rakyat disuguhi tontonan politik yang mengabaikan kesantunan dan kebajikan yang semestinya dijadikan bagian penting nilai-nilai demokrasi kita. Bila merawat saja tidak berhasil, maka demokrasi macam apa yang hendak mereka wariskan kepada generasi mendatang.

Elite politik tidak peduli bahwa sepak terjang mereka menjadi contoh buruk tentang bagaimana demokrasi Indonesia mesti dikembangkan. Elite tidak peduli seberapa serius dampak negatif sepak terjang mereka pada kultur politik Indonesia di masa mendatang. Elite sekarang tidak peduli bagaimana anak-anak muda generasi berikutnya akan belajar dari apa yang mereka lihat saat ini. Bahkan, calon elite kekuasaan di masa mendatang sudah diperkenalkan dengan cara-cara berpolitik yang mengabaikan nilai kebajikan dalam demokrasi. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu