Ada saja upaya mencari pembenaran atas pencalonan Gibran Rakabuming sebagai wakil presiden yang mendampingi capres Prabowo Subianto. Setelah publik mengritik keputusan para hakim di Mahkamah Konstitusi untuk merevisi aturan syarat pencalonan capres/cawapres, yang diduga terkait dengan upaya memuluskan jalan pencalonan Gibran sebagai cawapres, kemudian muncul pembenaran lain.
Dalam Rapimnas II Partai Golkar, 21 Oktober lalu, Ketua Umum Golkar Airlangga Hatarto menyinggung Sutan Sjahrir yang diangkat menjadi perdana menteri pertama Republik Indonesia saat masih berusia 36 tahun. “Sjahrir ketika itu kepala eksekutif atau kepala pemerintahan,” kata Airlangga, seperti dikutip media. Sayangnya, Airlangga hanya menyebut perihal usia muda Sjahrir, tapi tak menjelaskan mengapa Sjahrir dipilih Presiden Soekarno-Wapres Hatta untuk menjadi perdana menteri pada usia semuda itu.
Mendengar pembandingan seperti yang disampaikan oleh Arilangga itu, kita yang mengetahui sejarah akan menjerit “wwooww”, kok bisa? Dari sisi usia sih mungkin Gibran dan Sjahrir setara, sama-sama sekitar 36 tahun. Namun, dari sejumlah sisi lain, nanti dulu. Sejak usia sekolah menengah, Sjahrir sudah terjun dalam pergerakan, lalu di masa mahasiswa bergabung dengan Hatta, aktif dalam kegiatan penyadaran kebangsaan rakyat bawah, dan sempat pula dipenjara dan diasingkan ke luar Pulau Jawa.
Sjahrir sebagai pemuda menjalani tempaan sejarah, baik di forum lokal, nasional, maupun internasional. Ia mengasah diri dengan mengkaji berbagai pemikiran dunia, mempelajari geopolitik, serta merumuskan pemikiran yang kelak dituangkan dalam risalahnya yang mashur berjudul Perjuangan Kita. Oleh seorang Indonesianis Amerika Ben Anderson, Perjuangan Kita dinilai sebagai “Satu-satunya usaha untuk menganalisis secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memengaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan pada masa depan.”
Sjahrir menapaki karir politiknya hingga menjadi orang nomor satu eksekutif sebagai perdana menteri berkat ikhtiar keras di atas kakinya sendiri. Ia bukan anak pejabat pribumi atau berasal dari keluarga kaya raya. Ia bahkan menjadi perdana menteri bukan karena ia memimpin partai politik berpengaruh—Partai Sosialis Indonesia (PSI) didirikan Sjahrir 3 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, 1948. Ia dipilih menjadi perdana menteri karena sosok kepribadiannya yang sudah teruji dalam pergerakan kemerdekaan.
Lalu, PSI yang ia dirikan dikenal sebagai partai yang mandiri dan berintegritas, sehingga dalam perjalanannya partai ini menjumpai masa-masa sulit hingga dibubarkan pada 1960. PSI dikenal sebagai pengritik keras konsep Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno. Ini memperlihatkan bahwa partai ini tidak dapat diintervensi oleh pemerintah, dan ini terutama berkat kemandirian Sjahrir. Karena itu pula Sjahrir kemudian ditangkap dan dipenjara, dan ia wafat di Swiss ketika sedang berobat—seorang pejuang kemerdekaan wafat di pengasingan sebagai tahanan.
Apa yang membuat Sjahrir menonjol di antara banyak tokoh di seputar masa proklamasi? Tak lain karena Sjahrir terbuka untuk bergaul dengan tokoh pergerakan kemerdekaan dari berbagai latar belakang berkat pengalamannya dalam pergerakan, karena kecerdasannya, integritasnya, wawasannya, dan semangatnya untuk kemerdekaan. Ia dipilih Soekarno-Hatta menjadi perdana menteri pertama pada usia 36 tahun karena ia dianggap orang yang sepenuhnya bebas dari pengaruh Jepang waktu itu. Sjahrir adalah pengritik keras fasisme dan karena itu menolak bujukan untuk bekerjasama dengan Jepang pada masa-masa menjelang proklamasi kemerdekaan.
Usia boleh muda untuk menempati posisi apapun, tapi tanpa disertai penempaan oleh pengalaman konkret serta berbekal kompetensi yang diperlukan untuk mengelola sebuah organisasi besar bernama bangsa, maka semangat muda itu tidak cukup berarti. Inilah sebenarnya inti kritik terhadap pihak-pihak yang memutuskan untuk mengusung Gibran Rakabuming menjadi cawapres pendamping Prabowo. Masa depan sebuah bangsa dengan lebih dari 250 juta warga benar-benar dipertaruhkan, bukan sekedar kompetisi meraih kemenangan dalam sebuah pilpres. >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.