x

Ilustrasi depresi (Sumber: Pixabay)

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 15 November 2023 11:49 WIB

Ken Arok dan Siasat Kuno Politik Kekuasaan

Pengkianatan boleh dibilang kiat jitu yang berulang kali digunakan oleh figur-figur yang kita kenal dalam sejarah kerajaan di masa lampau. Pengkianatan tidak selalu timbul tiba-tiba, melainkan dirancang dan dijalankan secara cermat dan telaten. Para pengkianat biasanya terlatih menunggu momen dan kesempatan yang tepat untuk melaksanakan niatnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mereka yang pernah belajar sejarah Indonesia masa-masa kerajaan niscaya mengenal istilah wangsa. Wangsa itu mirip klan, keluarga, atau ada yang menyebut dinasti—apapun namanya, intinya adalah menjadikan keluarga dekat sebagai inti dan pusat dari kekuasaan negara. Nama-nama wangsa yang hingga kini masih nempel di benak karena sering keluar di ujian mata pelajaran sejarah sekolah menengah zaman dulu antara lain Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra, dan Wangsa Rajasa.

Wangsa Rajasa didirikan bermula dari pengkianatan Ken Arok kepada rajanya, Tunggul Ametung, di kawasan Singosari, Jawa Timur. Sebagai pengawal raja, Ken Arok kerap bertemu dan mendampingi Tunggul Ametung. Ken Arok barangkali iri melihat gaya hidup Tunggul Ametung yang wah dan punya isteri cantik seperti Ken Dedes. Timbul hasratnya untuk menjadi raja, karena ia berpikir sebagai bukan anak raja ia tidak akan pernah jadi raja bila mengikuti aturan atau kebiasaan yang berlaku bahwa hanya anak raja yang bisa menjadi raja.

Ken Arok (hidup sepanjang tahun 1182-1227 Masehi) mungkin juga tidak puas menjadi orang yang diperintah-perintah melulu, dan ingin merasakan kenikmatan memerintah orang lain. Sejauh yang dikisahkan dalam buku-buku sejarah, peristiwa pembunuhan Tunggul Ametung oleh Ken Arok tersebut sepenuhnya perkara hasrat kekuasaan, bukan tentang cita-cita tinggi Ken Arok untuk menyejahterakan rakyat di wilayahnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai pengawal, Ken Arok memiliki kesempatan besar untuk membunuh Tunggul Ametung yang ia anggap menjadi rintangan terbesar bagi terwujudnya ambisi menjadi raja. Dan Ken Arok kemudian memang berhasil membunuh Tunggul Ametung dengan tangannya sendiri. Lantaran ingin terlihat bersih di mata rakyat, ia memanipulasi rekannya, Kebo Ijo, yang kemudian dituduh sebagai pembunuh Tunggul Ametung dan dihukum mati. Singkat cerita, jadilah seorang pengawal menjadi raja yang kemudian menobatkan diri sebagai pendiri Wangsa Rajasa pada saat Ken Arok berusia 40 tahun (1222 Masehi).

Untuk memenuhi ambisinya menjadi raja, Ken Arok tanpa ragu membunuh dua orang sekaligus: Tunggul Ametung, rajanya, dan Kebo Ijo, kawan dekatnya. Andaikan selamat, baik Tunggul Ametung maupun Kebo Ijo mungkin tidak pernah menyangka atau berpikir bahwa orang yang mereka percaya, yakni Ken Arok, yang mereka kenal dekat sehari-hari, adalah orang yang sanggup melenyapkan diri mereka. Inilah keuntungan situasional yang disadari benar oleh Ken Arok; dia memanfaatkan kepercayaan tuan dan teman untuk kemudian memanipulasinya.

Bagi Ken Arok, mengorbankan orang lain adalah tindakan yang lumrah. Ia tidak merasa telah mengkianati raja maupun kawan dekatnya, melainkan hanya menghilangkan rintangan yang menghalangi langkahnya menuju pucuk kekuasaan. Dengan demikian, Ken Arok telah menetapkan standar perilaku kekuasaan di masa itu; dan bila kemudian terjadi silih-berganti saling menggulingkan kekuasaan pada masa sesudah Ken Arok, ini tidak lain karena cara-cara manipulatif dan pengkianatan kemudian dianggap lumrah.

Karena bentuk-negaranya kerajaan, maka kekuasaan ditegakkan dengan kekuatan. Konflik dengan pesaing-pesaing yang juga ingin naik ke kursi kekuasaan pasti terjadi. Di dalam persaingan ini berlangsung adu kecerdikan (untuk tidak menyebut kelicikan), siasat (strategi yang disusun di malam gelap agar tak ada orang lain yang tahu), hingga senyum simpul dan rasa hormat yang kasat mata namun menyembunyikan ancaman, kebencian, dan juga dendam. Para pengkianat menggunakan cara yang khas: ‘bermuka dua’.

Pengkianatan boleh dibilang kiat jitu yang berulang kali digunakan oleh figur-figur yang kita kenal dalam sejarah kerajaan di masa lampau. Pengkianatan tidak selalu timbul tiba-tiba, melainkan dirancang dan dijalankan secara cermat dan telaten. Para pengkianat biasanya terlatih menunggu momen dan kesempatan yang tepat untuk melaksanakan niatnya, walaupun kadang-kadang semangatnya mendidih atau kemrungsung dalam istilah bahasa Jawa. Pengkianatan mesti tertunaikan secara telak bila pengkianat betul-betul ingin membalikkan keadaan seketika serta dengan cepat meraih apa yang ia cita-citakan.

Bayangkanalh ketika seorang pengkianat dengan rasa puas meninggalkan tuan serta puannya dalam keadaan terkejut menghadapi kenyataan tak terduga sehingga tuan serta puan itu sama sekali tidak mampu berkata-kata alias speechless... >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu