Asumsi sebagai Biang Kerok

Selasa, 19 Desember 2023 16:50 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berasumsi harus dihindari dalam mengambil tindakan atau keputusan. Jangan lagi membiarkan ketidakpastian mengatur pengambilan sikap. Itu berlaku dalam setiap aspek kehidupan, termasuk yang konsekuensinya jauh lebih serius, seperti memilih pemimpin dalam pemilu. Membiarkan asumsi membimbing keputusan untuk memberikan suara kepada seorang/sepasang kandidat, adalah Hal terakhir yang harus dilakukan.

Oleh Purwanto Setiadi

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sangat mungkin sudah banyak orang yang pernah mendengar perkataan “asumsi adalah biang segala kegagalan”. Beragam variasinya. Kegagalan bisa juga kesalahan, atau kekacauan. Dari satu film aksi (kalau mau tahu, judulnya Under Siege 2; iya, agak gimana, memang) saya mengenal “assumption is the mother of all fuckups”.

Jika dicari asal usulnya, Internet akan menyodorkan nama Eugene Lewis Fordsworthe. Ilmuwan politik inilah yang disebut sebagai orang pertama yang mengemukakannya.

Saya menyukai kata-kata tersebut. Dalam pekerjaan saya, dulu, ia berguna untuk terus mendorong upaya check and recheck terhadap informasi dan temuan apa pun. Asumsi adalah hal tabu.

Dalam persinggahan saya di kampung halaman pekan lalu saya mendapati lagi pembenarannya.

Seperti trip serupa pada masa-masa sebelumnya, salah satu agenda yang saya jalani adalah bertemu dengan teman-teman lama--teman sekolah, teman main, dan yang lain. Sebelum berangkat saya mengabarkan rencana kedatangan saya. Dua di antara teman-teman itu merespons dan menyambut hangat.

Ada yang mengganjal, sebenarnya. Saya membayangkan pertemuan dengan keduanya, yang dulu sebetulnya ada dalam pergaulan yang sama, berlangsung terpisah. Keadaan yang sedang berlaku tak memungkinkan kami kongko di tempat dan waktu yang sama: bahwa sejak sebelum pandemi ada “gesekan” yang menyebabkan mereka sama-sama merasa bertemu adalah hal terakhir yang mau mereka lakukan.

Merasa, itu bisa dibilang sebagai asumsi, anggapan. Ini pun levelnya tak imbang.

Pada satu orang, sebutlah Si A, asumsinya bersifat hierarkis--dari atasan kepada bawahan, karena ada saatnya, ketika gesekan terjadi, dia memang dalam posisi sebagai bos. Dia menganggap satu orang yang lain, sebut saja Si B, takut meluangkan waktu untuk bertemu; seakan-akan Si B punya kesalahan kepadanya. Si B, sementara itu, menganggap Si A sudah pasti ogah bertemu dengannya, apa pun penyebab gesekan di antara mereka dulu.

Saya tak menduga ada kejutan.

Pada hari kedatangan saya, malamnya, Si A menelepon setelah saya kabarkan bahwa saya akan ke kedai kopi yang kami sepakati sebagai spot untuk rendezvous. “Kita ketemu di sana,” kata saya. Semula dia setuju. Tapi lalu menelepon lagi, mengusulkan kami berdua menyamper Si B dan mengajaknya ikut.

Saya tak bisa menolak meski sulit mengusir bayangan tentang bagaimana kikuknya perjumpaan mereka nanti. Saya juga merasa harus bersiap menghadapi situasi kalau Si B mengira saya yang berinisiatif, membuat fait accompli, dan menyalahkan saya.

Singkat kata, kami sampai di rumah Si B. Dalam keadaan teras yang gelap, dia membukakan pintu. “Dengan siapa; siapa itu?” dia bertanya, pandangannya tertuju pada seseorang, Si A (siapa lagi?), yang baru saja memarkir sepeda motor di halaman.

Ketika sosok Si A terlihat jelas, di depan pintu, karena cahaya lampu dari dalam rumah, jawaban untuk pertanyaan itu datang. Saya pun mengantisipasi situasi jengah. Atau lebih dari itu....

Saya lihat raut muka Si B terkejut melihat Si A. Tapi kata-kata Si A, membuka perjumpaan tak terduga itu, seketika menghapus ekspresi tersebut: “Tadi aku bilang, ‘Kau pasti ogah ketemu aku. Jadi aku usul disamper aja.” Tawa mereka berdua pecah. Mereka berjabat tangan, erat. Dan suasana akrab seketika timbul, seperti pada masa lalu.

Dua hari sesudahnya saya mampir lagi di rumah Si B. Di tengah obrolan dia bertanya bagaimana bisa Si A datang malam itu. “Aku kaget. Dia pasti sudah merendahkan diri untuk datang ke sini,” katanya. “Rasanya itu mustahil.”

Saya ceritakan apa yang terjadi, tak kurang, tak lebih. Saya tak bermaksud mengambil kredit, keuntungan. Dan saya bilang bahwa saya juga tak menduga Si A berinisiatif.

Dalam perjalanan pulang kata-kata “rasanya itu mustahil” terngiang-ngiang. Rasanya. Ya, lagi-lagi ini membenarkan adanya asumsi di antara mereka--bahwa mereka tak punya cukup informasi untuk menarik kesimpulan. Masing-masing tak pula melihat perlunya mengecek atau mencari tahu apa yang pihak sebelah pikirkan. Mereka percaya kepada dugaan masing-masing.

Mestinya sih mereka bisa mengambil pelajaran: tidak lagi membiarkan ketidakpastian mengatur pengambilan sikap atau keputusan.

Hal yang sama sebetulnya berlaku pula di area lain dari kehidupan, yang konsekuensinya jauh lebih serius: memilih pemimpin dalam pemilu. Dalam hal ini, agar kekacauan bisa dihindarkan, hal terakhir yang harus dilakukan adalah membiarkan asumsi membimbing keputusan untuk memberikan suara kepada seorang/sepasang kandidat.

 

(*)

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

3 Pengikut

img-content

Menyoal Fasilitas Parkir Sepeda di Stasiun

Sabtu, 21 September 2024 06:58 WIB
img-content

Menularnya Motonormativity

Jumat, 13 September 2024 12:55 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

Lihat semua