Absensi Sepeda dalam Janji Kampanye Capres

Kamis, 11 Januari 2024 06:05 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak penetapan calon presiden tak sekalipun muncul topik tentang sepeda dalam ajang debat atau kampanye. Padahal ada potensi manfaatnya, lintas sektor pula.

Oleh Purwanto Setiadi

Sebagai pengguna sepeda, terutama untuk keperluan transportasi dan mobilitas, saya sempat jadi merasa seperti liliput mengikuti debat para calon presiden. Fokus adu gagasan di antara mereka meliputi topik-topik yang sungguh teramat “tinggi”, walau sebetulnya “standar”--tentang ekonomi, pertahanan, hak asasi manusia, geopolitik, dan lain-lain. Dibandingkan dengan semua itu, apalah arti sepeda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya bukan mau mengabaikan kenyataan bahwa, di antara para calon, ada yang sebenarnya dekat dengan sepeda--yang satu, ketika memimpin DKI Jakarta, telah berupaya mendorong penggunaan sepeda untuk keperluan sehari-hari, dengan menyediakan prasarana serta membuat peraturan yang mengharuskan pengelola gedung atau fasilitas publik menyediakan tempat parkir sepeda dan mengintegrasikan sepeda dalam sistem transportasi; yang satu lagi adalah pengguna sepeda untuk berolahraga. Tapi sejak pencalonan mereka resmi ditetapkan saya tak pernah mendengar (atau membaca) tentang pemanfaatan sepeda dalam ide-ide mereka mengenai tindakan yang akan mereka lakukan jika kelak memimpin negara ini, paling tidak dalam kegiatan kampanye.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beserta wakilnya Ahmad Riza Patria ikut bersepeda pada Minggu pagi bersama warga di kawasan Bundaran HI, Minggu 14 Juni 2020. Tempo/Taufiq Siddiq

Lupakah Pak Mantan Gubernur DKI Jakarta kepada keyakinannya bahwa sepeda adalah unsur penting dalam pembangunan kota yang sistem transportasinya berkelanjutan? Bukankah salah satu janjinya adalah membangun sejumlah kota, yang diharapkan bisa menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru? Atau, barangkali, dia tidak lagi melihat peran sepeda dalam apa yang harus dijalankan seorang presiden, yang dimensinya jauh lebih besar dan kompleks ketimbang gubernur, yang mengelola wilayah seperti Jakarta sekalipun?

Pak Calon yang satu lagi, yang pernah memimpin Jawa Tengah, sejauh yang saya tahu memang tak punya rekam jejak kebijakan khusus tentang sepeda. Jadi, berharap bahwa dia akan “lompat pagar” pun ibarat menggantang asap.

Tetapi, setelah saya pikir-pikir lagi, alasan bahwa dimensi dan kompleksitas pekerjaan presiden terlalu besar untuk mengurus sepeda itu justru kelewat lemah. Dengan potensi dampak yang lebih signifikan, kebijakan di level presiden malah dibutuhkan. Inilah di antara yang “hilang” dari kebijakan yang telah ada untuk mendorong penggunaan sepeda sebagai sarana transportasi dan mobilitas. Inisiatif yang bersifat lokal selama ini bukan tidak baik, hanya saja tidak kohesif dan menyeluruh.

Karenanya, setelah hampir sedasawarsa menjadikan sepeda sebagai sarana transportasi dan mobilitas, saya merasa punya alasan untuk menyayangkan ketiadaan sepeda dalam wacana debat atau kampanye calon presiden. Boleh saja kalau ada yang tak peduli dan menyepelekan pendapat saya. Dalam konteks mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (krisis, tepatnya), yakni menyangkut upaya penurunan emisi gas rumah kaca, sebuah tantangan besar bagi presiden baru, sepeda punya potensi besar untuk membantu mencapai target dari sektor transportasi, sesuai komitmen dalam Perjanjian Paris. Saya percaya hal ini.

Kepercayaan itu bukan tidak ada dasarnya. Perhitungan European Cyclists’ Federation (ECF) mendapati sepeda menghasilkan emisi hanya 21 gram/penumpang/kilometer. Angka ini kira-kira sepersepuluh dari emisi mobil. ECF tidak hanya menghitung emisi dari pemakaian keduanya, melainkan menyertakan besaran emisi dari saat pembuatan dan pembuangannya (life cycle emissions). Bagaimana dengan mobil listrik? Bahkan dengan dengan pembangkit listrik yang bersih tapi baterainya buatan Cina, riset Transport & Environment, sebuah organisasi non-pemerintah di Eropa, mendapati level emisinya masih signifikan (meski sudah berkurang 30-an persen).

Mobil listrik dengan tingkat emisi yang telah berkurang secara berarti (80 persen lebih) masih perlu waktu hingga bisa diproduksi massal. Tapi, dengan besaran ini sekalipun, emisi tak sepenuhnya bisa dihalau. Jadi, waktu yang ada itu bisa dibilang merupakan jendela yang dapat digunakan untuk keluar dari situasi urgen dengan memanfaatkan peluang lain yang lebih realistis dan terjangkau: bagaimana kalau pengurangan emisi dilakukan dengan menambahkan sepeda dalam langkah-langkah yang dijalankan, melengkapi berbagai opsi sarana angkutan massal?

Di Jakarta saja, umpamanya, ada lebih kurang 24 juta kendaraan bermotor. Katakanlah 1 persen di antara penggunanya beralih ke sepeda untuk trip jarak pendek (antara 5-10 kilometer), paling tidak setiap hari emisi bisa dikurangi sampai 5.000-an kilogram per kilometer. Angka 1 persen itu sudah berlipat-lipat dari proporsi pengguna sepeda harian yang ada. Lebih besar lagi, tentu saja, akan semakin bertambah pula emisi yang bisa dikurangi.

Ada keuntungan lain, sebenarnya. Jika selama ini dikesankan bahwa sepeda tidak menghasilkan manfaat ekonomi, bukti yang dikumpulkan dari riset di negara-negara anggota Uni Eropa menepisnya dengan telak. Berdasarkan pengalaman di negara-negara itu (Belanda merupakan contoh yang tak pernah usang), muncullah apa yang disebut bikenomics, yakni kajian tentang pemanfaatan logika ekonomi dalam pengadopsian sepeda sebagai sarana transportasi dan mobilitas.

Sejumlah telaah, juga buku, menyangkut hal itu telah dipublikasikan untuk menunjukkan dan menggambarkan adanya banyak peluang dan benefit ekonomi--menyangkut penciptaan lapangan kerja, pembukaan dan pertumbuhan usaha, dan lain-lain--dari penggunaan sepeda sehari-hari. Kajian yang dilakukan ECF pada 2016, misalnya, mendapati ekonomi Uni Eropa diuntungkan oleh kebijakan prosepeda dengan nilai yang lebih besar ketimbang produk domestik bruto Belgia, sekitar 513 miliar euro.

Bagi negara mana pun, manfaat ekonomi itu bisa bertambah besar jika di sektor kesehatan juga ada upaya menghindarkan biaya pengobatan dan perawatan penyakit-penyakit akibat malas bergerak (sedentary lifestyle) serta polusi udara maupun polusi suara. Ini belum menyertakan kejadian-kejadian kematian dini yang bisa dicegah.

Masih ada hal positif dari aspek-aspek lain. Tapi bukti-bukti yang ada sejauh ini dari contoh-contoh tersebut jelas bukan “kaleng-kaleng”. Melihat pola pikir yang masih berlaku, bahwa sepeda hanyalah alat rekreasi dan olahraga, dan bahwa kendaraan bermotor menempati posisi sentral dalam kebijakan pembangunan perkotaan, untuk meyakini dan mengadopsi bikenomics sebagai salah satu misi yang dijajakan dalam kampanye tampaknya juga memerlukan visi dari calon yang juga bukan “kaleng-kaleng”. Memikirkan hal ini, saya merasa jadi seperti liliput lagi.

 

(*)

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

3 Pengikut

img-content

Menyoal Fasilitas Parkir Sepeda di Stasiun

Sabtu, 21 September 2024 06:58 WIB
img-content

Menularnya Motonormativity

Jumat, 13 September 2024 12:55 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

Lihat semua