Staf Publikasi dan Jurnal Ilmiah \xd Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd
Kuota Hangus: Kegagalan Pelayanan Publik atau Bisnis yang Lupa Tanggung Jawab?
Jumat, 11 Juli 2025 09:07 WIB
Isu kuota hangus pada layanan Telkomsel menimbulkan kekhawatiran tentang kualitas layanan dan kepercayaan publik.
***
Telkomsel, raksasa telekomunikasi yang selama ini menjadi tulang punggung konektivitas bangsa, kini tengah menghadapi badai kepercayaan yang mengancam fondasi reputasinya. Isu kuota hangus bukan sekadar persoalan teknis. Ia telah menjelma menjadi simbol dari kecemasan kolektif masyarakat atas layanan digital yang tak lagi berpihak. Bayangkan, pelanggan yang telah membayar penuh demi akses internet justru kehilangan haknya tanpa peringatan berarti. Kerugiannya tidak hanya terukur dalam angka, melainkan terasa hingga ke jantung kepercayaan publik.
Dalam era di mana akses data telah menjadi hak dasar, pengabaian terhadap hak konsumen sama artinya dengan pelanggaran terhadap prinsip pelayanan publik. Di titik inilah kredibilitas korporasi dipertaruhkan, dan sejarah akan mencatat: apakah Telkomsel memilih mendengarkan, atau terus berjalan di jalur yang menjauh dari kepentingan rakyat yang dilayaninya.
Masalah ini bukan sekadar kekeliruan teknis. Di balik kuota yang hilang diam-diam, mengendap narasi tentang kegagalan sistemik: kurangnya transparansi, absennya akuntabilitas, dan lambannya respons terhadap keluhan pelanggan. Dalam laporan 2020, Telkomsel bahkan dikenai sanksi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika sebesar Rp27 miliar akibat pelanggaran prinsip keterbukaan biaya layanan. Bukti bahwa celah dalam pelayanan bukan isapan jempol semata.
Menurut Dr. Roy Suryo, pakar komunikasi dan media, sektor telekomunikasi seharusnya menempatkan hak-hak konsumen sebagai poros utama strategi bisnis. Kuota hangus, dalam pandangan ini, bukan hanya soal kerugian kuantitatif, tapi bentuk nyata dari pelecehan terhadap hak pengguna. Tak heran, anggota Komisi VI DPR RI, Sadarestuwati, menyebut praktik "penghilangan paksa" kuota pelanggan sebagai tindakan kejam bahkan menyerupai promo ojek online yang "menjebak".
Pertanyaannya, apakah fenomena kuota hangus hanyalah ekses dari bisnis modern yang dingin dan transaksional, atau justru cerminan nyata kegagalan sebuah entitas yang seharusnya menjalankan fungsi pelayanan publik? Barangkali keduanya saling terkait. Yang pasti, dalam posisi sekuat Telkomsel, publik berharap lebih dari sekadar layanan. Mereka mendambakan keteladanan bukan justru perusahaan yang memupuk kesan bahwa hak-hak pelanggan bisa dikorbankan demi efisiensi atau laba semata. Sebab jika perusahaan sebesar Telkomsel saja abai terhadap keadilan bagi konsumennya, bagaimana dengan penyedia jasa lain yang tak memiliki skala dan sumber daya serupa? Dalam dunia yang semakin tersambung dan transparan, kepedulian terhadap pelanggan bukan hanya nilai tambah melainkan prasyarat utama untuk bertahan hidup.
Untuk itu, perlu langkah nyata yang dapat segera diterapkan, seperti menghapus mekanisme hangus yang tidak adil dan menggantinya dengan sistem roll-over yang lebih ramah pengguna; memastikan adanya notifikasi yang transparan dan akurat mengenai masa aktif serta batas pemakaian kuota; menyediakan kanal pengaduan yang benar-benar responsif dan solutif; serta membangun ulang kultur layanan yang berpihak pada keadilan digital, di mana kepentingan pelanggan ditempatkan sebagai prioritas utama dalam setiap aspek penyelenggaraan layanan telekomunikasi.
Di era digital saat data telah menjadi oksigen baru bagi kehidupan masyarakat, layanan telekomunikasi tak lagi bisa bersandar semata pada jargon teknologi atau dominasi pasar. Mereka wajib tunduk pada nilai-nilai luhur pelayanan publik: transparansi, keadilan, dan keberpihakan pada pengguna. Jika prinsip-prinsip ini terus diabaikan, Telkomsel bukan hanya menghadapi gelombang protes dari pelanggan yang merasa dikhianati, tetapi juga mengikis kepercayaan publik, sebuah aset tak ternilai yang menentukan kelangsungan bisnis di tengah persaingan yang semakin terbuka dan cerdas. Sebab dalam dunia yang makin terhubung, kepercayaan adalah ‘mata uang tertinggi’.*

Penulis Indonesiana
5 Pengikut

Psikologi Cinta Tanah Air dalam Kebyar-Kebyar
Minggu, 17 Agustus 2025 16:15 WIB
Tabola Bale: Cinta yang Membebaskan, Indonesia yang Memikat
Senin, 18 Agustus 2025 08:36 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler