x

Suasana kantor Pegadaian di kawasan Kramat Jakarta, Jumat (6/7). TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Iklan

Lia Dwi Dana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rahn (Gadai)

Gadai atau Rahn menurut syariah adalah penyerahan harta benda sebagai jaminan hutang, yang hak kepemilikannya dapat diambil alih ketika sulit untuk menebus

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tugas Individu

Gadai (Rahn)

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Hadist Ahkam Ekonomi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Dosen Pengampu :

Aye Sudarto, M.E,Sy.

 

 

 

 

 

Disusun Oleh :

 

Lia Dwi Dana   1521030479/G

 

 

 

FAKULTAS SYARIAH JURUSAN MUAMALAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN 2016


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, Tuhan pencipta dan pemelihara alam semesta alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepasa Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia hingga hari pembalasan.

Dalam melaksanakan tugas pembuatan makalah ini, tidak sedikit kesulitan dan kendala yang kami hadapi, baik menyangkut soal pengaturan waktu, pengumpulan bahan-bahan, maupun sistematika penulisan makalah, dan lain sebagainya. Namun berkat semangat dan kerja keras kami disertai dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya.

Oleh karena itu, saya sebagai penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya makalah Hadis Ahkam Ekonomi yang berjudul Rahn (gadai).

 

Bandar Lampung, 29 Oktober 2016

LIA DWI DANA

NPM 1521030479


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
PENDAHULUAN 1
    Latar Belakang 1
    Rumusan Masalah. 1
    Tujuan Penulisan. 1
PEMBAHASAN 2
    Pengertian Gadai (Rahn). 2
    Landasan Hukum Gadai 3
    Rukun dan Syarat Gadai. 5
    Kegunaan Gadai 6
    Ikatan Gadai, Pembatalan dan Berakhirnya Gadai.. 6
    Penyelesaian Gadai 8
PENUTUP 9
    Simpulan 9
DAFTAR PUSTAKA 10

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

Syari’at Islam memerintahkan umatnya agar saling tolong-menolong dalam segala hal, salah satunya dapat dilakukan dengan cara pemberian atau pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur atau orang yang memberikan pinjaman agar jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, pihak kreditur diperbolehkan meminta barang kepada debitur sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan kepadanya.

Tidak hanya ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai juga masih berlaku hingga sekarang. Terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga yang menaungi masalah dalam gadai itu sendiri. Di dalam Islam, pegadaian itu tidak dilarang namun harus sesuai dengan syariat Islam.

B. Rumusan Masalah

  • Apakah gadai itu ?
  • Bagaimana dasar hukum gadai menurut Al-Qur'an dan Hadits?
  • Apakah rukun dan syarat Rahn?

C. Tujuan Penulisan

  • Mengetahui tentang definisi dan pengertian gadai menurut syariah
  • Mengetahui dasar hukum gadai menurut Al-Qur'an Hadits
  • Mengetahui hukum memanfaatkan barang yang digadaikan

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gadai (Rahn)

Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu tetap, kekalataupenahanan.

Sedangkan gadai atau Rahn menurut syariah adalah penyerahan harta benda sebagai jaminan hutang, yang hak kepemilikannya dapat diambil alih ketika sulit untuk menebusnya. [1]

Menurut ulama Syafi’iyah gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang. Sedangkan menurut ulama hanabilah gadai adalah harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi jaminan.

Dalam buku lain dijelaskan pula bahwa gadai adalah :

  1. Menjadikan suatu barang yang bernilai menurut syara sebagai jaminan atas piutang, yang memungkinkan terbayarnya hutang si peminjam kepada pihak yang memberikan pinjaman.
  2. Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah rahn, yaitu suatu perjanjian untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn secara etimologi berarti "tetap.
  3. Menjadikan barang yang bernilai atau berharga sebagai jaminan atas hutang yang dibebankan sampai terbayarnya hutang tersebut. [2]

B. Landasan Hukum Gadai

Sebagaimana halnya dengan jual-beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh dijual boleh digadaikan. Dalil yang melandasi gadai telah ditetapkan dalam Al-qur’an dan Hadits.

1. Al-Qur'an

Ayat Al-qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 283, diantaranya adalah :

????????????? ???????? ???????? ????????? ???? ?? ?????? ????? ??????? ????? ??

“jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”(QS. Al-Baqarah : 283).

Menurut ayat yang tertera diatas, bahwasannya Al-Qur’an memperbolehkan adanya hukum akad gadai, dengan mengecualikan jika adanya unsur riba yang terdapat didalamnya.[3]

2. Hadits

Yang menjadi landasan hukum atau dasar daripada akad Gadai (Rahn) selain Al-Qur’an ialah beberapa hadits yang menjelaskan tentang akad Gadai sebagai berikut:

a. Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:

???? ????????? ??????? ???????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ???? ?????????? ???????? ?????????? ??????? ???? ???????

“Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara menangguhkan pembayarannya, lalu beliau menyerahkan baju besi beliau sebagai jaminan” (shahih Muslim)

b. Dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW bersabda :

???????? ?????: ????? ??????? ???????? -?????? ???????? ???????? ?????????: ( ??? ???????? ?????????? ???? ????????? ???????? ????????, ???? ????????, ?????????? ???????? ) ??????? ??????????????????, ????????????, ?????????? ???????. ?????? ????? ????????????? ?????? ????? ??????? ?????????? ????????

“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni dan Ibnu Majah).

c. Nabi bersabda :

??    ????? ??????????    ?????    ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ?????????    ????????? ???????? ???????????? ????? ????? ??????????, ???????? ???????? ???????? ???????????? ????? ????? ??????????, ??????? ??????? ???????? ?????????? ???????????

“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (shahih Muslim).[4]

3. Ijma’

Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyari’atkan pada waktu tidak epergian maupun pada waktu bepergian, berdasarkan kepada perbuatan Rasulullah Saw dalam hadits di atas.

C. Rukun dan Syarat Gadai

Demi keabsahan suatu perjanjian gadai yang dilakukan, ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi yaitu:

1. Ijab Qabul (sighat)

Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak. Sebab, gadai merupakan perjanjian yang melibatkan harta sehingga perlu dimanifestasikan dalam bentuk pernyataan tersebut seprti halnya jual beli, karena gadai sendiri itu tak jauh berbeda dengan akad jual-beli.

2. Orang yang bertransaksi (Aqid)

Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai yaituRahin (pemberi gadai) dan Murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal sehat, dan atas keinginan sendiri.

3. Adanya barang yang digadaikan (Marhun).

4. Hutang (Marhun Bih).

Sedangkan menurut aturan dasar pegadaian di Indonesia, barang-barang yang dapat digadaikan  di lembaga itu hanyalah berupa barang-barang bergerak (gadai dalam KUH Perdata hanyalah berbentuk barang-barang bergerak), tentunya dengan beberapa pengecualian. Pengecualian disini artinya barang yang tidak dapat digadaikan. Barang-barang tersebut antara lain:

  1. Barang milik Negara, seperti sepeda motor dinas, mesin tik kantor.
  2. Hewan yang hidup dan tanaman.
  3. Segala makanan dan benda yang mudah busuk.
  4. Barang yang karena ukurannya besar, tidak dapat disimpan dalam gadaian.
  5. Benda yang di gadaikan oleh seseorang yang mabuk, atau tidak dapat memberikan keterangan-keterangan tentang barang yang digadaikan.[5]

D. Kegunaan Gadai

Kegunaan gadai ialah memberi kewenangan kepada penggadai melakukan penjualan barang gadaian ketika diperlukan untuk pelunasan wajib hutang pegadai. Apabila pegadai menolak melakukannya, yakni tuntutan penggadai untuk menjual barang gadaian, hakim segera menetapkan keputusan membayar hutang atau menjual barang gadaian.

E. Ikatan Gadai, Pembatalan, dan Berakhirnya Gadai

1. Ikatan Gadai

Bagi penggadai sendiri, akad gadai tidak mengikat haknya dalam situasi apapun. Dia berhak membatalkan akad gadai kapan pun dia menghendaki, karena kebaikan gadai bagi dirinya terletak didalam serah terima barang gadaian.  Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Daruquthni dan Hakim, dari Abi Hurairah bahwa Nabi saw Bersabda:

( ??? ???????? ?????????? ???? ????????? ???????? ????????, ???? ????????, ?????????? ???????? ) ??????? ??????????????????, ????????????, ?????????? ???????. ?????? ????? ????????????? ?????? ????? ??????? ?????????? ????????

 “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni dan Ibnu Majah).

2 Tindak Lanjut Terhadap Barang Gadaian

Ketika akad gadai telah mengikat yang ditandai dengan serah terimahnya barang gadaian, barang gadaian yang bergerak berpindah tangan kepada pegadai untuk memastikan adanya jaminan. Kekuasaan penggadai terhadap barang gadaian tidak akan pernah hilang, kecuali memberi kewenangan pegadai untuk memanfaatkan barang yang digadaikan tersebut.

 

3. Berakhirnya Ikatan Akad Gadai

Ikatan akad gadai dalam pandangan syara’ berakhir atau habis masanya dengan berbagai hal sebagai berikut.

  1. Pembatalan akad gadai dari pihak penggadai walaupun tanpa adanya restu dari pihak pegadai, dikarenakan hak gadai adalah milik penggadai, sedangkan gadai dari jalur penggadai bersifat tidak mengikat.
  2. Adanya pelunasan semua hutang. Menurut ijma' ulama, apabila hutang masih tersisa meski sedikit, akad gadai belum berakhir. Hal ini sama seperti hak penahanan barang yang diperjual belikan karena gadai merupakan jaminan semua bagian terkecil dari hutang.
  3. Binasa atau rusaknya barang gadaian karena akad gadai akan berakhir karena hilangnya objek akad atau tersia-sianya barang gadaian.
  4. Barang gadaian berubah menjadi barang yang tidak lagi berharga, yakni sesuatu yang tidak mubah untuk diambil kemanfaatannya. Sebagaimana contoh barang gadaian berupa perasan anggur, yang berubah menjadi arak ketika sebelum jatuh tempo pelunasan, maka akad gadai menjadi batal seketika bersamaan dengan berubahnya barang gadaian itu.

F. Penyelesaian Gadai

Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin (penggadai) tidak mampu melunasi hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka Marhun(barang yang digadaikan) menjadi milik murtahin (orang yang menerima gadai) sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun  akan lebih kecil daripada utang rahinyang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihakrahin.

Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.

Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahn masih menanggung pembayaran keduanya.


PENUTUP

SIMPULAN

Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa gadai atau rahn adalah perjanjian atau transaksi utang-piutang/pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai jaminan atau tanggungan utang.

Dalam islam gadai itu sendiri diperbolehkan, landasan hukum gadai terdapat pada Al-qur’an surah Al-Baqarah ayat 282-283, Hadits yang telah dipaparkan, dan ijma’. Adapun rukun dalam gadai adalah adanya ijab qabul (shighat), orang yang bertransaksi (penerima dan pemberi gadai), adanya barang yang digadaikan dan adanya hutang.Sedangkan syarat gadai adalah Orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai, bukan orang gila dan anak-anak, orang yang berakal dan baligh (dewasa)..

Salah satu manfaat yang dapat diambil pihak bank dari praktik rahn ini adalah Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang (marhun) jaminan yang dipegang oleh bank.

Selanjutanya penyelesaian terhadap rahn, yaitu apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhunlebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran keduanya.


DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Moh. Rifai. Ilmu Fiqh Islam Lengkap. Semarang: Toha Putra. 1985.

Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Taudhihul Ahkam. Jakarta: Pustaka Azzam. 2006.

Ash-Shidqi, Habsy. Pengantar Ilmu Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang. 1984. 

Azhar Basyir, Ahmad. Riba, Hutang-Piutang dan Gadai. Bandung: al-Ma’arif. . 1983.

Zuhaili Wahbah. Fiqh Imam syafi’I Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Jakarta: Almahira. 2012.


[1] Ash-Shidqi Hasby, Pengantar Ilmu Muamalah (Jakarta: Bulan Bintang.1984), h.104

[2] Azhar basyir Ahmad, Riba Hutang Piutang dan Gadai (Bandung: Al-ma’arif. 1983), h.82

[3] Al Bassam Abdullah bin Abdurrahman, Tauhidul Ahkam (Jakarta: Pustaka Azzam. 2006), h.112

[4] Zuhaili Wahbah, Fiqh Imam Syafi’I Menupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist (Jakarta: Almahira. 2012), h.94

[5] Ash-Shidqi Hasby, Pengantar Ilmu Muamalah (Jakarta: Bulan Bintang.1984), h.104

Ikuti tulisan menarik Lia Dwi Dana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler