x

Hukum lemah, pelanggaran mudah/Foto: Purwanto Setiadi.

Iklan

purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 5 September 2023 19:00 WIB

Fase ‘Soft State’ Kita

Disadari atau tidak, hukum di negara kita cenderung diperlakukan seperti hiasan di dalam rumah. Hiasan dipajang--di meja, di dinding, di tempat-tempat lain yang memungkinkan--melulu untuk kepantasan, yang penting ada, atau mematut suasana. Fase soft state kita masih panjang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Purwanto Setiadi

Disadari atau tidak, hukum di negara kita cenderung diperlakukan seperti hiasan di dalam rumah. Hiasan dipajang--di meja, di dinding, di tempat-tempat lain yang memungkinkan--melulu untuk kepantasan, yang penting ada, atau mematut suasana. Bahwa, berbeda dengan hiasan, hukum punya fungsi sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat, sarana mewujudkan keadilan sosial, serta sarana merealisasikan pembangunan, dan karenanya perlu dijalankan atau ditegakkan, orang-orang umumnya tak peduli.

Ada istilah yang masih relevan untuk kecenderungan kolektif dari suatu masyarakat atau bangsa semacam itu: soft state. Pencetusnya adalah Gunnar Myrdal--ini bukan nama yang asing buat mereka yang belajar ilmu ekonomi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Merujuk negara-negara Asia Selatan, Myrdal mengintroduksikan apa yang dia sebut soft state itu lebih dari setengah abad yang lampau. Dalam pandangannya, ini adalah keadaan suatu negara manakala aturan hukum tak bergigi—terlalu lemah.

Melalui buku Asian Drama: An Inquiry Into the Poverty of Nations (1968), ekonom Swedia yang pada 1974 mendapat penghargaan Nobel itu mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan kritiknya terhadap teori pembangunan. Tapi apa yang digambarkannya sebagai ketidakdisiplinan sosial, yang merupakan perwujudan dari aturan yang tak memadai dan lembeknya pelaksanaan serta penegakannya, juga kolusi pejabat publik dengan orang atau kelompok yang punya akses terhadap kekuasaan, berlaku bagi negara mana pun yang masih “terbelakang”.

Dalam bukunya, pada bagian tentang soft state itu, dia menulis begini: “...semua jenis ketidakdisiplinan sosial yang memanifestasikan diri lewat lemahnya legislasi dan, khususnya, ketaatan dan penegakan hukum, pembangkangan meluas para pejabat publik, dan, sering, kolusi mereka dengan orang-orang atau kelompok-kelompok kuat…yang tindakannya harus mereka atur.”

Semasa belajar ekonomi pembangunan, dulu, “teori” itu membekas dalam ingatan saya. Ya, tak lain tersebab oleh kecocokan dan ketepatannya dalam mewakili gambaran tentang Indonesia—juga negara-negara sedang berkembang pada umumnya, sebetulnya. Kala itu, awal 1980-an, berlaku keyakinan bahwa hal ini merupakan tahap “senjakala” dalam lintasan menuju modernitas, ketika norma-norma sosial mulai kehilangan muruahnya tapi nilai-nilai modern berdasarkan kebebasan individu, dengan kontrol aturan hukum, belum sepenuhnya diterima.

Puluhan tahun berlalu dan, demikianlah, di Indonesia, kita melihat, peraturan tetap berwibawa hanya di atas kertas. Dalam praktiknya, sebagai contoh, ya, seperti kondisi di jalanan di mana saja, terutama di perkotaan: semua orang bisa semau-maunya, apalagi kalau ada bekingan orang “penting”. Tiada sanksi apa pun. Polisi memaklumi. Ancaman hukuman bagaikan macan ompong.

Contoh lain: tentang polusi udara, bagaimana udara yang bersih dan sehat harus dijaga. Sebetulnya aturannya juga sudah ada. Tapi ketentuan-ketentuan di dalamnya bertahun-tahun diperlakukan seperti, itu tadi, pajangan. Karena dinilai sengaja mengabaikan regulasi yang dibuatnya sendiri, sehingga polusi udara di Jakarta terus memburuk, pemerintah sempat digugat, dan kalah. Ketimbang mengakuinya, pemerintah memilih menempuh upaya hukum lanjutan. Saat ini upaya ini ada di tingkat kasasi.

Pemerintah yang sama belakangan kalang kabut karena situasi mutakhir menyangkut polusi udara di Jakarta, dan tiba-tiba sigap mau merazia kendaraan bermotor, perihal emisinya, serta menindak perusahaan-perusahaan yang dianggap sebagai pencemar. Kondisi “mendadak repot” ini tak perlu terjadi kalau saja pemerintah menjalankan apa yang diputuskan hakim di pengadilan.

Daftar contohnya masih panjang, tentu saja. Tapi satu hal jelas: bahwa tahap “senjakala” itu berlangsung kelewat berkepanjangan. Bisa dikatakan kita bahkan tak mencapai apa-apa dalam proses transisi ke modernitas yang mau dituju, bagaimanapun pengertian modern ini menurut kita.

Kesan yang gamblang, apa pun penyebabnya, adalah begitu banyak “kemajuan” yang kita capai dalam masa puluhan tahun, tapi betapa sedikit kedisiplinan sosial merasuk ke dalam alam pikiran dan tatanan masyarakat. Apa yang salah, mestinya sudah teridentifikasi segera setelah masa reformasi. Sayangnya, karena miopia kolektif di kalangan pemimpin dan politikus, yang hanya bisa melihat yang dekat-dekat saja, yakni pertumbuhan ekonomi sebagai target “pembangunan”, kalaupun bukan kepentingan diri dan kelompoknya, tak pernah ada upaya sungguh-sungguh untuk memperbaikinya.

Menimbang kecenderungan yang ada sejauh ini, juga bagaimana lanskap politik yang berlaku dan pengaruhnya terhadap pembuatan kebijakan, kelihatannya kita masih akan menjalani keadaan yang sama entah sampai kapan.

(*)

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu