x

Sumber: TEMPO.

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 11 September 2023 16:29 WIB

Obral Janji Capres, Gagal Mengukur Kapasitas

Janji manis adalah satu-satunya hal menarik yang ditawarkan oleh para politikus dalam kampanye mereka, bahkan sebelum masa kampanye resmi tiba pun mereka sudah mulai melontarkannya. Namun capres gagal mengukur kapasitas negara untuk mampu mewujudkan gagasan itu secara berkelanjutan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bakal calon presiden sudah mulai mengobral janji manis. Prabowo Subianto, menurut adiknya Hashim Djojohadikusumo seperti dikutip berbagai media massa, akan memberi makanan gratis setiap hari bila terpilih sebagai presiden pada pilpres tahun depan. Ada sekitar 77 juta jiwa yang menjadi sasaran program ini. Anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp 440 triliun per tahun. Diberitakan juga oleh media massa, Ganjar Pranowo akan menaikkan gaji guru hingga mencapai Rp 30 juta per bulan. Hanya dari Anies Baswedan belum terdengar janji manis serupa, entah tidak lama lagi.

Janji manis adalah satu-satunya hal menarik yang ditawarkan oleh para politikus dalam kampanye mereka, bahkan sebelum masa kampanye resmi tiba pun mereka sudah mulai melontarkannya. Politikus menganggap rakyat sebagai manusia yang dapat dipuaskan dengan janji, meskipun politikus sendiri mungkin tidak meyakini sepenuhnya apakah janji itu dapat mereka penuhi. Tapi mereka merasa bahwa mereka harus punya janji manis yang diberikan. Apakah janji itu dapat terwujud, mereka mungkin berpikit, “Ah, bagaimana nanti saja.”

Jadilah kebiasaan menebar janji tanpa beban, enteng, tanpa serius memikirkan bahwa setiap janji adalah utang yang harus dilunasi. Karena politikus terbiasa berenang dalam kata-kata, maka bagi mereka lontaran janji hanyalah cipratan air di tengah kolam, riak kecil yang segera dilupakan. Kendati begitu, sikap menganggap enteng sesungguhnya menyingkapkan sekurang-kurangnya dua hal: pertama, kegagalan mengukur kapasitas dan kedua, kesembronoan dalam melakukan kalkulasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dua janji manis yang terkesan hiperbolik itu menunjukkan betapa orang-orang yang memberi masukan kedua bakal calon presiden gagal mengukur kapasitas negara, begitu pula capresnya kurang mampu memberi penilaian kritis. Mereka melontarkan gagasan yang sulit bagi negara (melalui kebijakan yang diambil oleh presiden terpilih) untuk mewujudkannya. Apakah negara mampu menyediakan anggaran untuk merealisasikan ide seperti itu secara berkelanjutan? Apakah presiden terpilih mampu menjamin bahwa anggaran yang sangat besar itu akan sampai kepada yang berhak menerimanya secara utuh?

Kemampuan mengendalikan anggaran negara merupakan salah satu persoalan yang hingga kini tidak kunjung mencapai tataran yang mampu menjamin keamanannya dari kebocoran akibat salah kelola maupun karena digangsir oleh maling. Mampukah presiden terpilih bersama timnya mengembangkan kapasitas pengendalian anggaran maupun menjaga kelangsungan program secara berkelanjutan? Ataukah jika program itu memang kemudian diwujudkan, jangan-jangan hanya akan berlangsung satu tahun untuk kemudian kolaps karena ketidakmampuan anggaran untuk menopangnya maupun kurangnya kapasitas untuk mengelolanya secara berkelanjutan.

Karena itulah, betapa janji manis itu tidak rasional karena mengingkari kemampuan negara pada saat itu maupun kapasitas pengelolanya—presiden dan pemerintahannya maupun aparat kenegaraan lain yang menyertai penyelenggaraan pemerintahan. Janji manis itu janji politik yang dihiperbolis sehingga terlihat woowww, namun tidak realistis untuk diwujudkan.

Apakah janji manis yang sudah terlontar itu merupakan buah salah kalkulasi dengan mengabaikan kapasitas yang diperlukan ataukah merupakan hasil kalkulasi dengan banyak sekali asumsi, syarat, maupun penyederhanaan yang tidak diungkapkan? Yang penting janji itu terlihat manis di hadapan calon pemilih serta cukup menggetarkan lawan-lawan bersaing dalam kompetisi pilpres; apakah janji tersebut nanti dapat diwujudkan, tak usah dipikirkan sekarang. Dalam ungkapan Sunda kira-kira berbunyi: “Kumaha engke we (bagaimana nanti saja).”  >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu