x

Foto: jcomp/Freepik

Iklan

purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 12 September 2023 09:52 WIB

Urgensi dari Media Khusus untuk Cerita Krisis Iklim

Kita perlu lebih banyak cerita tentang mereka yang mengalami dampak dari krisis iklim. Tapi, lebih penting lagi, kita perlu media spesifik yang memang berfokus di situ.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cerita, fiksi maupun nonfiksi, bisa mengandung hal-hal yang “magis”: ia menyodorkan sebuah dunia, emosi, gagasan, dan membuat fenomena sehari-hari terlihat menakjubkan, atau, sebaliknya, menggiriskan. Cerita juga mampu mengajarkan empati dan menggerakkan. Karenanyalah kita memerlukan sebanyak mungkin cerita agar isu krisis iklim “hidup” di benak semakin banyak orang dan jadi pendorong bagi tindakan kolektif.

Cerita dapat menjalankan peran-peran tersebut karena kemampuannya menstimulasi otak. Disadari atau tidak, yang terjadi manakala kita mendengar atau membaca cerita adalah kita jadi terhubung dengan pesan di dalamnya. Hal ini menyebabkan kita bukan saja menyerap informasi yang ada, melainkan juga merasakan emosinya.

Aristoteles, filsuf Yunani yang hidup pada abad keempat sebelum Masehi, telah menunjukkan bagaimana pesan atau informasi, atau cerita, sanggup menimbulkan kesan yang kuat pada suatu audiens. Kesan ini yang lalu menjadi dasar penyebaran pesan/informasi/cerita itu dari orang ke orang, sampai pada suatu titik ketika pesan/informasi/cerita itu menjadi pengetahuan dan bahkan kearifan yang bertahan lama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berdasarkan identifikasi Aristoteles, ada tiga faktor yang memungkinkan hal itu: ethos, pathos, dan logos. Pesan atau informasi, atau cerita, harus mengandung daya tarik etika (ethos), mampu menyentuh emosi (pathos), dan menggugah nalar (logos). Dengan mengandung ketiganya, menurut Aristoteles, suatu pesan/informasi/cerita berpeluang besar tinggal dalam memori masyarakat, menjadi pengetahuan bersama, menuntun perilaku, menjadi norma.

Faktor-faktor itu yang kurang muncul, kalaupun tidak bisa dibilang absen sama sekali, dalam berbagai informasi tentang krisis iklim. Temuan studi oleh ilmuwan dari Université de Lausanne yang dipublikasikan di Global Environmental Change (Mei, 2023) mengkonfirmasi hal ini. Kalaupun terdapat cerita tentang pengalaman dari mereka yang terkena dampak, yang kebanyakan justru bukan dari kelompok yang perilakunya ikut menjadi penyebab krisis iklim, unsur-unsur yang ada yang tergolong dalam ketiga faktor tersebut tidak cukup kuat, tidak mengilhami aksi. Tapi, sebenarnya, lebih sering cerita hanya jadi sampiran saja dalam suatu informasi sehingga, itu tadi, tidak mengandung daya tarik etika, emosi, dan logika.

Yang juga menjadi masalah adalah media massa yang ada pada umumnya hanya memberi sedikit ruang untuk informasi, apalagi cerita, tentang krisis iklim. Hal ini lebih sering terjadi, dan harus diakui. Media massa yang secara serius mengerahkan perhatian dan sumber dayanya untuk memproduksi informasi serta cerita tentang krisis iklim pun terhitung langka.

Tidak harus begitu, sebenarnya. Bahkan pada era ketika media sosial lebih mendominasi ini, dan ketika semakin terang ada begitu banyak orang yang cenderung memercayai apa yang mereka ingin percaya, media massa masih bisa berperan lebih dari sekadar sebagai sumber informasi, melainkan juga pengubah perilaku. Sebuah penelitian di Malaysia (Ha Junsheng dkk., 2019), misalnya, membuktikan bahwa media massa mempengaruhi kesadaran, sikap, dan pengetahuan mengenai krisis iklim; juga bahwa media massa berperan dalam mengarahkan perilaku yang ramah lingkungan.

Menimbang hal-hal itu, tak bisa tidak media massa mesti meneguhkan atau bahkan memperbarui komitmennya. Membela kepentingan publik, menjalankan checks and balances, menjadi watchdog, apa pun, semua tetap penting untuk dilakukan. Tapi itu akan jadi percuma tanpa memberi porsi yang signifikan bagi isu krisis iklim, seperti selama ini media massa tidak dengan baik mengelola isu kelestarian lingkungan hidup.

Bagaimanapun, keunggulan media massa yang ada harus diakui. Apalagi kalau media massa itu konsisten berfokus pada upaya menghasilkan informasi berkualitas. Bisa dipastikan media semacam ini, secara intrinsik, telah memiliki kecakapan dalam penceritaan.

Tentu saja, sepenuhnya bergantung pada kemauan media massa yang ada untuk merealisasikan harapan tersebut tidak bisa dilakukan juga. Banyak dari media massa yang ada terbelah konsentrasinya antara berusaha melayani serta merangkul sebanyak mungkin pembaca dengan memberikan informasi yang dibutuhkan dan bagaimana secara operasional bisa berkelanjutan dalam lanskap bisnis media yang telah berubah total. Tersebab oleh hal inilah kesadaran mengenai perlunya media massa khusus yang berfokus pada “ceruk” pesan/informasi/cerita tentang krisis iklim jadi relevan.

Hal mendasar dari media massa yang menjalankan peran tersebut adalah sebaiknya ia tidak terbebani persoalan bisnis. Sebab tujuannya memang bukan itu. Ia berfokus sepenuhnya pada upaya menarasikan pengetahuan dan informasi tentang krisis iklim untuk, sebagaimana terbukti dalam riset psikologi, mengaktifkan mekanisme yang dapat melibatkan perilaku prolingkungan dari pembacanya.

Kita sangat membutuhkan media massa semacam itu terlepas dari siapa yang mau ber-“investasi” dan bagaimana pengoperasiannya agar bisa bertahan selama keberadaannya masih diperlukan.

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB