x

Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 14 September 2023 18:52 WIB

Berpolitik Tanpa Baperan?

Perbedaan pandangan politik, perselisihan langkah, diikuti oleh memburuknya hubungan personal. Yang tadinya berkaitan dengan kepentingan umum, kini masuk pula ke wilayah personal terkait perasaan, harga diri, kebencian, dendam, dan seterusnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konflik di antara elite politik sangat sukar dihindari, karena setiap elite memiliki kepentingan masing-masing. Bila kepentingannya sama atau seiring dan searah, relasi di antara sesama elite akan baik-baik saja. Setidaknya begitu yang ditampilkan di hadapan publik, entah di belakang. Sebaliknya, bila kepentingan di antara mereka berbeda, bahkan berlawanan arah sehingga sukar dicarikan titik temu, maka relasi mereka akan cenderung terganggu. Jika perlu, putus hubungan seketika. Patah arang.

Respon terhadap perbedaan sikap di antara sesama elite politik relatif sering ditampilkan di depan umum. Responnya bukan bersifat intelektual, dalam arti mengritik di atas basis pemikiran rasional, melainkan cenderung berupa narasi atau gestur yang mempertontonkan ketidaksukaan. Narasi yang muncul di ranah publik berupa ucapan-ucapan sarkastik, yang sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan merumuskan dan mengemas kritik terhadap lawan politik dengan elegan, serta ketidakmampuan menahan diri dari sikap emosional.

Dalam hal tertentu, respon yang cenderung kekanak-kanakan juga ditunjukkan melalui bahasa tubuh, seperti tidak mau berjabat tangan ataupun enggan saling berangkulan walau sudah kenal dekat, Lumrah secara manusiawi, tapi itu sekaligus memperlihatkan tingkat penguasaan emosional seorang elite.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah baperan itu sikap yang berlebihan? Sebagian orang berpendapat bahwa jika orang terjun ke dunia politik, ia mesti siap untuk bukan saja tebal muka, tapi juga tebal hati alias tidak gampang memasukkan segala sesuatu ke dalam hati. Di satu sisi ini ada bagusnya sebab membuat politikus lebih tahan mental menghadapi tekanan, makian, atau perundungan, sehingga politikus mampu memilah mana ungkapan-ungkapan yang bisa dianggap psy-war untuk melemahkan kekuatan mental lawan-politik dan mana ungkapan yang substansial dan perlu dijawab secara substansial pula.

Namun, dalam kenyataannya, saling kritik substansi justru jarang terjadi. Jagat wacana politik kita lebih banyak diwarnai oleh pertempuran antarjargon, silat lidah istilah, serta ungkapan pedas yang justru membuat substansi kritiknya tidak terlihat oleh publik. Banyak ucapan politikus yang pada dasarnya tidak memiliki kandungan substansi yang berbobot. Bungkus ucapannya jadi cenderung bombastis dan memerahkan telinga demi menarik perhatian masyarakat, tapi kosong substansi.

Yang terjadi kemudian ialah terbawanya perasaan. Perbedaan pandangan politik, perselisihan langkah, diikuti oleh memburuknya hubungan personal. Yang tadinya berkaitan dengan kepentingan umum, kini masuk pula ke wilayah personal terkait perasaan, harga diri, kebencian, dendam, dan seterusnya. Relasi buruk karena ketersinggungan bahkan bisa berlangsung bertahun-tahun, dan kemudian menghambat terjalinnya relasi politik yang sebenarnya bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat luas. Partai politik tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana penyaluran kepentingan warga secara murni, sebab sejumlah partai besar dikenal identik dengan pribadi tertentu.

Terbawanya perasaan ke dalam urusan politik ini kemudian mendorong munculnya kecenderungan untuk saling menegasikan atau menolak apapun pandangan lawan politik. Setiap ide dari lawan politik lantas terkesan wajib ditolak sekalipun secara objektif ide tersebut baik bagi masyarakat. Perkara alasan, ini bisa dicari. Sudah terjadi, sebuah ide ditolak karena hendak dijalankan oleh seorang pejabat yang tidak disukai, namun begitu pejabat tersebut diganti, maka politikus yang semula menolak kemudian berubah sikap jadi mendukung.

Pada akhirnya aspek personal akan tetap mewarnai dinamika politik, yang ragamnya mulai dari ekspresi narasi yang ecek-ecek hingga kebijakan yang bersifat strategis. Apa lagi jika ini terkait dengan ‘perebutan kekuasaan’, yaitu tentang siapa yang harus berkuasa di tataran tertentu dan dalam periode tertentu. Tak lain karena kecenderungan politik dinasti semakin menguat dengan banyaknya kerabat politikus yang terjun ke dunia politik karena dunia ini terlihat menggiurkan. Ini membuat politik menjadi kian kental aroma personalnya dan rasionalitas yang sehat semakin tergusur.

Bila menengok sejarah masyarakat kita di masa lampau, betapa banyak contoh perebutan kekuasaan bertautan dengan sikap baperan elite politik. Sejarah perebutan kekuasaan di antara elite politik pada masa kerajaan telah memperlihatkan bagaimana ketersinggungan personal telah memotivasi mereka untuk mengakhiri pertemanan, persaudaraan, dan berujung pada pertikaian dan perebutan kekuasaan yang mengorbankan rakyat. Di masa kini, meskipun ungkapan ‘jangan baperan’ sering diucapkan, namun kenyataannya ungkapan itu hanya sekedar pemanis bibir untuk mengecoh masyarakat, sebab di balik itu aksi-aksi untuk menghentikan langkah lawan politik terus berlangsung dan dilatari alasan pribadi karena tersinggung, gengsi, dan jenis baper lainnya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu