x

Semua mau hijau. Tapi tidak semua hijau. (Foto: Freepik)

Iklan

purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 20 September 2023 14:42 WIB

Hijau yang tidak Hijau

Hijau telah menjadi label yang dianggap signifikan dalam bisnis. Tapi banyak yang sekadar klaim hampa, mengingat kondisi riilnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Semakin ramai perusahaan yang mengkampanyekan atau mengadopsi inisiatif go green. Ini bagus, sebenarnya. Tapi akan lebih baik lagi jika implikasi dari keputusan itu benar-benar disadari dan tecermin sepenuhnya dalam apa yang dilakukan.

Secara mendasar, menurut salah satu definisinya, going green berarti tekad “untuk menyeimbangkan antara kegiatan yang dijalani, dampak dari kegiatan itu serta pilihan-pilihan yang berkaitan dengannya terhadap bumi, dan cukup sadar untuk ikut memelihara kesetimbangan ekologis demi melestarikan bumi, ekosistemnya, dan sumber daya alamnya”. 

Inisiatif hijau menjadi penting sehubungan dengan pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres bahwa bumi sedang menghadapi triple planetary crisis berupa perubahan iklim, polusi udara, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Aksi nyata untuk mengelakkan bencana akibat ketiga ancaman itu merupakan opsi mendesak yang harus dilaksanakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam realitasnya, apa yang terkandung dalam pengertian hijau tersebut bukan perkara ringan. Hal ini semakin gamblang bila diingat betapa faktanya adalah apa yang berlaku di level praktis tidak memungkinkan tekad untuk go green itu berhasil: bahwa perekonomian bekerja secara linier, dalam arti skemanya adalah “ambil-bikin-buang”.

Dengan kata lain, skema itu mencakup kegiatan-kegiatan ekstraksi sumber daya alam (atau “bahan mentah”), lalu diproses menjadi produk yang akan dibeli konsumen, dan kemudian, akhirnya, dibuang sebagai sampah. Bertahun-tahun hal ini diyakini sebagai cara yang niscaya untuk mencapai kemajuan, bahkan kesejahteraan, yang nyatanya tidak demikian.

Implikasi dari pengadopsian inisiatif go green sesungguhnya meliputi aspek-aspek yang luas. Ia bukan semata-mata melakukan tindakan yang dipandang “hijau”, misalnya menghemat pemakaian listrik, mengurangi sampah plastik, menanam pohon, dan lain-lain yang semacam; ia juga bukan tindakan “akrobatik” ubah-mengubah definisi seperti yang sedang diupayakan sehubungan dengan keputusan untuk mengubah Taksonomi Hijau Indonesia--yang di antaranya akan menyematkan label hijau pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Pendek kata, ia harus merupakan langkah menyeluruh yang mengandung aspek restorasi (kalau ada sumber daya yang rusak) dan regenerasi (memperbarui sumber daya yang dipakai dalam produksi).

Prinsip-prinsip itu hanya mungkin direalisasikan kalau pola pikir yang dianut tidak lagi sama dengan yang selama ini berlaku. Kate Raworth, dalam Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st Century Economist (2017), menyarankan tujuh segi menyangkut hal ini. Tapi yang berperan sebagai fondasi dari semuanya, menurut dia, adalah uang tidak bisa lagi dijadikan titik awal. Dia berpendapat kesejahteraan lebih penting ketimbang uang.

Dia menunjukkan dua hal mendasar di situ: bahwa manusia saling bergantung satu dan yang lain, agar bisa memperoleh sumber daya untuk memenuhi hak asasinya, juga memenuhi kebutuhan akan pangan, air, kesehatan, pendidikan, papan, serta energi; dan bahwa manusia tergantung pada planet yang jadi rumahnya.

Dua hal itulah, menurut dia, yang harus dipertimbangkan dalam upaya mencapai kesejahteraan bersama. Dua hal itu merupakan batas dari suatu area yang memungkinkan setiap manusia mencapai kesejahteraan secara adil (aspek sosial) dan aman bagi lingkungan (aspek kelestarian, daya dukung bumi).

Raworth bisa dianggap mewakili ekonom, juga praktisi bisnis seperti Paul Hawken, yang menawarkan gagasan tentang praktik ekonomi hijau secara jernih, elaboratif, dan masuk akal. Satu aspek lain dari ide yang dikemukakannya, yang dia anggap melengkapi prinsip-prinsip yang telah ada, terutama ekonomi sirkuler, adalah distribusi kesejahteraan yang didesain sejak awal.

Apa yang disampaikan Raworth, juga yang lain yang berpendapat serupa, menjadikan gamblang bahwa inisiatif hijau, menyangkut bisnis maupun pembuatan kebijakan untuk kegiatan bisnis, hanya omong kosong kalau masih mengabaikan keadilan, kesejahteraan, dan kelestarian, secara slintat-slintut maupun terang-terangan.

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu