Revisi UU Pemilu: Jangan Campakkan Suara Rakyat

Kamis, 18 Juni 2020 05:07 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penting untuk menjaga keterwakilan rakyat yang beragam dengan tidak mengubah ambang batas parlemen yang 4%. Menaikkan ambang batas parlemen bukanlah kebutuhan yang mendesak, kecuali apabila para elite politik memang bermaksud mengukuhkan dominasi kekuasaan politik mereka serta memudahkan mereka melakukan konsolidasi kepentingan.


Sejumlah partai yang dalam Pemilu 2019 meraih suara tinggi tengah berusaha menggolkan usulan kenaikan ambang batas parlemen dari 4% menjadi 7% secara nasional. Jika angka 7% tidak berhasil dicapai oleh partai politik peserta pemilu, partai tersebut tidak boleh menempatkan anggotanya untuk duduk di DPR. Sekalipun misalnya, partai tersebut meraih suara 6,9% tetap dianggap tidak cukup.

Padahal, angka 6,9% perolehan nasional itu setara dengan 13,8 juta suara dengan asumsi pemilih yang memberikan suara sah sebanyak 200 juta orang. Itu baru dari satu partai, jika ada 2-3 partai yang memperoleh suara nyaris tapi belum tembus 7%, bagaimana? Hendak dikemanakan jutaan suara rakyat yang menggunakan hak pilihnya itu?

Rakyat pemegang hak pilih yang datang ke TPS tentu berharap bahwa hak suaranya tidak akan terbuang sia-sia hanya karena partai pilihannya, tempat politikus pilihannya bernaung, tidak lolos ambang batas parlemen. Jika ini yang terjadi, maka terjadilah kesia-siaan demokrasi, sebab hasil pemilu secara langsung menunjukkan bahwa hanya partai-partai besar (dalam hal ini partai yang memperoleh suara jauh melampaui ambang batas parlemen) yang akan menentukan jalannya DPR.

Karena partai tidak mampu menembus Gedung Senayan, suara jutaan rakyat pemilihnya tidak akan terakomodasi dan tersalurkan. Walaupun belum ada jaminan bahwa suara rakyat akan diakomodasi dan disuarakan oleh partai politik yang berhasil menempatkan wakilnya di DPR. Seperti sekarang, para anggota DPR lebih banyak menyuarakan kepentingan elite politik dan ekonomi. Inilah ironi demokrasi, rakyat memilih orang-orang yang kemudian tidak menyuarakan aspirasi rakyat yang memilihnya.

Partai-partai besar tersebut barangkali sangat percaya diri bahwa dalam pemilu 2024 mendatang mereka akan memperoleh suara setidaknya sebesar yang mereka peroleh pada pemilu 2019. Karena itu, mereka bertekad memasang barikade dengan menaikkan ambang batas parlemen. Barikade ini tidak ubahnya barriers to entry yang lazim digunakan di dunia ekonomi dan bisnis untuk merintangi dan membatasi masuknya pemain-pemain baru dalam suatu industri.

Terbuangnya suara pemilih yang berpotensi mencapai puluhan juta suara itu, apabila banyak partai yang gagal menembus ambang batas parlemen 7%, akan menjadi tragedi demokrasi. Partai-partai yang dalam pemilu lalu gagal tembus mungkin akan semakin sukar menembus Gedung DPR. Bahkan sejumlah partai yang saat ini masih bisa menempatkan wakilnya di DPR juga terancam sukar menembus ambang batas tersebut. Sebutlah misalnya PPP yang dalam pemilu 2019 memperoleh 4,52%.

Jika mengacu pada perolehan pemilu 2019, sejumlah partai akan berpotensi berada dalam posisi kritis bila ambang batas parlemen dinaikkan jadi 7%. Bukan hanya PPP, tapi juga PAN (6,84% pada 2019) dan Demokrat (7,77% pada 2019), walaupun mungkin saja partai-partai ini mampu menaikkan kembali perolehan suaranya seperti pemilu 2014. Namun intinya ialah pentingnya menghargai suara rakyat pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya. Apakah suara mereka akan dibiarkan hangus, tidak diacuhkan, tidak diakomodasi?

Sekalipun kualitas DPR masih belum menggembirakan rakyat, tetaplah penting untuk menjaga keterwakilan rakyat yang beragam dengan tidak mengubah ambang batas parlemen yang 4%. Menaikkan ambang batas parlemen bukanlah kebutuhan yang mendesak, kecuali apabila para elite politik memang bermaksud mengukuhkan dominasi kekuasaan politik mereka serta memudahkan mereka melakukan konsolidasi kepentingan. Sebab, kekuatan politik yang berbeda pandangan akan lebih dulu tersingkir karena tidak bisa menembus ambang batas 7%. Kalaupun lolos ke Senayan, kekuatan ini akan lebih mudah diisolasi dari mayoritas agar tidak mengganggu kepentingan elite politik partai besar. Bila ini terjadi, terjadilah tragedi demokrasi: rakyat memilih politikus dan partai politik yang kemudian mengabaikan suara rakyat lantaran berbeda dengan suara elite. >>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler