Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Para ekonom, lembaga internasional hingga para pemimpin dunia kompak mengabarkan 2023 kemungkinan akan diwarnai resesi. Ancaman resesi akan diikuti menurunnya realisasi investasi di Indonesia, baik dari investor luar negeri maupun investor dalam negeri. Tapi apakah Indonesia harus pasrah saja pada keadaan perekonomian global yang sedang tidak baik-baik saja? Indonesia selalu mempunyai peluang untuk membuat iklim investasi yang lebih bisa menarik investor asing.
Besaran pajak tersebut adalah 5% untuk harga US$15.000 hingga US$16.000 per ton. Tak hanya nikel, kabarnya pajak progresif ini juga berlaku bagi komoditas lainnya seperti bauksit dan timah.
Ingat, berbisnis bukanlah seperti bermain monopoli yang jika kamu bosan, papan monopoli tersebut dapat kamu lipat dan akhiri seketika. Bisnis tidak seperti itu.
Pengusaha industri nikel sedang terbebani kebijakan pemerintah yang baru yaitu pengenaan pajak progresif ekspor nikel. Lewat kebijakan pajak progresif ekspor, produk nikel yang telah diolah di smelter yang terintegrasi dengan pertambangan wajib dikenakan biaya pajak ketika akan diekspor.
Jika pemerintah tidak melakukan diskusi secara mendetail dengan pebisnis, agaknya hilirisasi yang digaungkan pemerintah tak akan terealisasi dengan baik serta bijak.
Kala para penanam modal sudah berinvestasi besar-besaran, (FYI, capaian realisasi penanaman modal Indonesia di kuartal II/2022 mencapai Rp302,2 triliun), muncul kebijaka-kebijakan pemerintah Indonesia yang bagaikan perangkap goblin bagi para investor. Apa saja itu?
Tahukah kamu kalau superhero yang membuat ekonomi RI perlahan membaik adalah sektor industri di hilir dan sektor pertambangan di hulu dengan realisasi investasi yang moncer. Namun ternyata dunia persilatan investasi di sektor tambang sedang tidak baik-baik saja. Mengapa begitu?
Hingga kini, ribuan tambang ilegal atau yang disebut PETI (Pertambangan Tanpa Izin) masih marak di Indonesia. Bagaimana upaya Kementerian ESDM sebagai pihak yang juga berwenang menangani sektor pertambangan RI dalam mengentaskan tambang ilegal ini?
Baru-baru ini lembaga KontraS memberikan julukan bagi orang-orang yang kerap mendukung 3 periode presiden dengan sebutan Penjahat Demokrasi. Daftar penjahat demokrasi ini terdiri dari menteri, anggota DPR, dan petinggi partai politik. Siapa saja mereka?
Sesosok pejabat mengungkap bahwa dirinya mempunyai big data 110 juta warganet setuju adanya penundaan Pemilu 2024, yang berartikan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi itu sendiri. Namun, ketika ditanyai dari mana data tersebut berasal, sosok ini tetap bungkam. Hal ini menuai reaksi tokoh publik yang mulai menyangsikan omongannya kala pembantu Jokowi ini tak bisa membuktikan kebenaran big data kepada rakyat.
Mendengar kabar adanya rencana duel Denny Siregar dan Novel Bamukmin, menuai rekasi dari Ketua Majelis Aktivitas Pro Demokrasi (ProDEM), Iwan Sumule. Iwan Sumule tak habis pikir mengapa karena satu sosok pejabat yang buat gaduh, jadi masyarakat yang hendak ribut dan kelahi.
Ramai-ramai publik berulang kali meminta sosok ini membuka big data yang dimaksudkan. Dan berulang kali juga dia menolak untuk membuka big data yang dimaksudkan. Hingga tak pelak, publik pun mencapnya sebagai pembohong. Kalau dia tak ingin membuka big data, dia bisa dicap sebagai pembuat kebohongan besar atau Big Lies!
Ya, meski menjadi tumpuan, bukan hal rahasia bahwa Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara kadang menjadi penghambat terutama bagi para pengusaha tambang. Hambatan ini parahnya datang dari jajaran di dalamnya yang bergaya bak mafia dan malah tidak pernah patuh pada aturan yang ditentukannya sendiri.
Menko Luhut pada 15 November 2021 pernah mengatakan bahwa perihal audit untuk mengungkap apakah benar dirinya berbinis tes PCR merupakan urusan mudah. Kini publik ingin membuktikan omongannya lewat permintaan terbuka untuk ikut jalani audit publik yang dilakukan Kaukus Masyarakat Sipil untuk Demokrasi dan Keadilan Sosial.
KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) mengungkap bahwa dalam bisnis PCR yang melibatkan nama-nama pejabat negara terdapat persaingan tidak sehat. Salah satu cara pihak-pihak di bisnis PCR memanfaatkan situasi untuk dapat cuan berlebih adalah dengan menghadirkan paket bundling tes Covid-19 dengan konsultasi.
Semakin banyak pihak yang meminta Presiden Jokowi untuk menindak tegas menteri yang berada di kabinet pemerintahannya, terkait dugaan permainan bisnis tes PRC kala pandemi.
Meski Indonesia menganut sistem demokrasi dan kontrol pusat di tangan pemerintah demi tercapainya kebutuhan umumn namun tetap saja ancaman bahwa ada oknum yang lakukan praktik oligarki tetap ada. Misalnya seperti pada kasus ketika kantor BUMN seolah terpaksa pindah ke gedung milik pejabat negara ini.
Menko Luhut sudah angkat bicara mengenai keterlibataan dirinya dalam permainan bisnis tes PCR. Ia mengatakan bahwa tak sepeser pun keuntungan masuk ke kocek pribadinya dan sepenuhnya niatnya hanya untuk membantu masyarakat di tengah kesulitan pandemi Covid-19. Publik pun malah memiliki pertanyaan-pertanyaan baru kala mendengar klarifikasinya. Apa mungkin, di dunia ini ada perusahaan yang tak mengambil untung dari kegaitan operasionalnya?
Pejabat yang berada di pusaran bisnis tes PCR tidak hanya dilaporkan ke KPK, tapi juga ke BPK dan DPR.
Kasus dugaan adanya mafia bisnis di tes usap RT-PCR yang melibatkan pejabat-pejabat negara kini ramai diperbincangkan. Seluruh lapisan masyarakat dari elite politik, tokoh masyarakat, ormas,, tokoh agama hingga warganet sama-sama mengecam para pejabat yang berbisnis di tengah derita rakyat karena wabah pandemi Covid-19.
Kebijakan tes PCR sempat membuat heboh masyarakat belakangan ini, lantaran diberlakukan ke semua moda transportasi tetapi harganya tidak terjangkau oleh yang membutuhkan. Menambah huru-hara, kebijakan ini juga terus berubah-ubah sesuai dengan kepentingan yang memengaruhinya.
Dua ormas pendukung Presiden Joko Widodo, Relawan Jokowi Mania dan Projo, meminta Presiden segera bertindak tegas tangani kasus dugaan keterlibatan menterinya di dalam pusaran bisnis tes PCR. Bisnis yang diduga telah merugikan masyarakat.
Menko Luhut belakangan ini kembali menjadi buah bibir masyarakat terkait dugaan keterlibatan di bisnis tes PCR. Sontak, hal ini menuai reaksi dari semua lapisan masyarakat termasuk para elite politik yang geram karena Luhut dinilai mencari keuntungan di atas penderitaan rakyat selama pandemi Covid-19. Siapa saja para elite politik yang mengkritik Luhut dan bagaimana ragam komentar dari mereka?
Permainan bisnis PCR kini ramai diperbicangkan. Pasalnya meski harga tes sudah turun menjadi Rp300 ribu, publik mendengar kabar yang diungkap Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan bahwa setidaknya ada Rp23 triliun perputaran uang di bisnis PCR. Dan ada dua anak perusahaan milik pejabat RI tersebut dikatakan terafiliasi dengan perusahaan laboratorium tes PCR, yaitu PT GSI.
Sektor perindustrian Indonesia, terutama manufaktur, diketahui telah memiliki capaian-capaian prestasi di kancah internasional. Hal ini dikarenakan total nilai ekspor, total nilai investasi hingga kontribusi meningkatkan pendapatan domestik bruto (PDB) nasional. Tetapi acapkali pelaku industri memiliki problem yang justru berasal dari dalam negeri.
Bukan hal yang baru mengenai pengusaha-pengusaha di Indonesia acapkali dijegal oleh penguasa negeri ini. Dari mulai dipersulit mengurus perizinan, adanya pungutan liar hingga pemerasan besar-besaran. Kultur seperti ini harusnya tidak dipelihara di negara yang bukan menganut sistem oligarki.
Status tambang emas Blok Wabu jadi ramai diperbincangkan menyusul pernyataan bahwa ternyata perusahaan Menko Luhut yang telah menguasai tambang tersebut. Perhatian menjadi tertuju pula ke Kementerian ESDM yang dinilai tidak transparan akan siapa pengelola Blok Wabu yang sekarang. Jikalau telah diberikan ke swasta, Kementerian ESDM tidak mengungkapkan alasan jelas ditenderkannya tambang emas ke pihak selain BUMN dan BUMD.
Presiden RI, Joko Widodo dikabarkan akan melakukan reshuffle kabinet pada Rabu Pon mendatang. Sejumlah nama dari berbagai kementerian yang kinerjanya tidak maksimal dan tidak memberikan efek positif disebut-sebut. Namun apakah Jokowi berani me-reshuffle sosok yang mempunyai kekuasaan berlebih di pemerintahan dengan kerap bekerja di lintas sektoral ini?
Sesosok pejabat di pemerintahan Jokowi terindikasi over kewenangan dengan mengerjakan tugas-tugas lintas sektoral kementerian. Apakah ini baik atau buruk?
Membuat kesalahan sebagai pemimpin adalah manusiawi. Tetapi jika anti-kritik, bahkan mempolisikan orang yang dianggap mencemarkan nama baik, padahal masih banyak urusanvkepada rakyat yang harus dipenuhi, apakah pantas menunjukkan sikap seperti itu? Apakah layak jadi contoh publik?